Hanya orang yang tidak memiliki
kepercayaan dirilah yang berani berbuat ketidakbaikan. Karena dia tidak
memiliki percaya diri, dia berusaha menghilangkan kegelisahannya dengan berbuat
kejahatan. Kepercayaan diri seseorang itu berbeda-beda. Dan kepercayaan diri
yang baik akan membuat seseorang memandang dirinya baik dengan menghindari
ketidakbaikan. Demikian kira-kira ungkapan Krishna
dari taman nirwana, dalam satu episode dari serial Mahabharata.
Ungkapan bijak Bashudewa Krishna
menghujam kuat di hati saya. Tentu saja, Mahabharata bukan kisah amatir yang
memungkinkan quotes didalamnya
ditulis oleh script-writer amatir
untuk bisa kita pertentangkan benar salahnya. Saya sendiri teringat ulasan
dalam buku test kepribadian tentang apa sebenarnya percaya diri. Orang yang
memiliki percaya diri sesungguhnya adalah orang yang memiliki konsep diri yang
matang. Tidak tergoyahkan oleh cacian orang, pun tak perlu pujian untuk
melesatkan semangatnya, apalagi sampai memuji-muji diri sendiri. Bagi orang
yang percaya diri, prinsipnya tentang baik dan buruk, benar dan salah, cukuplah
memandunya untuk anti putus asa, bangun dari segala kekecewaan, dan straight ahead menjalankan visi kebaikan
yang diperjuangkannya.
Epos Mahabharata sendiri, sudah tua
sekali usianya. Namun sampai sekarang, masih sering kita temui kisah perjuangan
Pandhawa melawan Kurawa ini, dijadikan sebagai inspirasi. Mengapa? Karena
kontekstual dari kisah ini selalu ada di sekitar kita. Perampasan hak,
penindasan mayoritas terhadap minoritas, dan pemusnahan, atau jika tidak,
penggusuran terhadap kelompok kebaikan. Dan dari semua itu, selalu ada pengobar
api layaknya Sengkuni pengadu domba.
Lihat di sekitar kita. Jangankan di
jagad Indonesia raya, di sekeliling tempat tinggal, di tempat kerja, di
lingkungan terdekat kita, isu-isu seperti itu selalu ada. Manusia selain
dibekali fitrah untuk menuju kedamaian hati, juga dilekati sifat cinta terhadap
kerlap dunia, nikmatnya kedudukan untuk menguasai orang lain, menguasai
pasangan, dan menguasai harta melimpah. Demikian juga dalam ilmu social,
dikenal istilah id (jiwa yang
merusak), ego (jiwa yang
bernegoisasi) dan super ego (hati
nurani yang ingin selalu berbuat baik). Karenanya Sigmund Freud berpendapat,
akan selalu ada masalah dalam masyarakat.
Di
antara mereka, ada yang terang-terangan berbuat sambil tertawa. Merasa dirinya
hebat karena mampu menaklukkan orang
lain. Merasa dirinya unggul karena mampu memiliki apa yang tak dimiliki orang
lain. Tapi ada juga yang bekerja dari balik layar. Tak mau mengotori tangannya
sendiri untuk kekotoran yang dibuatnya. Memakai tangan orang lain agar tak
ketahuan kebusukannya. Disinilah dia berperan, sebagai penjilat, penghasut atau
pemfitnah. Pembawa kayu bakar yang mengobar api dimana-mana. Saat orang-orang
yang di-brainwash-nya mati-matian
berseru dan berbuat atas hasutannya, dia dibelakang tertawa-tawa, mengagumi
dirinya sendiri yang berhasil membuat orang lain berkorban, mengelus-elus
perutnya yang sudah kekenyangan tanpa harus bersusah payah. Dialah loser sejati. Jika dekat dengan
pimpinan, dia menjilat. Jika jauh dari pimpinan, dia menghasut. Herannya saya,
orang seperti ini selalu dibekali Tuhan dengan ketrampilan komunikasi tingkat
dewa. Pandai mengumbar dalil, pandai mengambil hati orang yang tak tahu
apa-apa, dan selalu mendapatkan dukungan solid untuk melawan kebaikan.
Bertemu
orang macam ini, saya bingung harus berbuat apa. Jika melawan, saya merasa
menjadi ikut-ikutan bermulut besar seperti mereka. Jika diam, saya merasa tak
bertanggungjawab membela kebaikan. Dalam hati saya selalu menyisipkan doa agar
Tuhan memberi kekuatan pada yang benar agar dapat terus fokus membuat kebaikan,
tidak oleng oleh hantaman badai. Tapi saya bertanya, disitukah tempat saya?
Sebagai adh’aful iman? Selemah-lemahnya
iman, hanya mengandalkan berdoa untuk
mengubah keadaan? Tak mampu mengubah kemunkaran dengan tangan atau lisan, hanya
dengan hati. Entahlah, saya tak punya ide lagi.
No comments:
Post a Comment