Monday, 29 February 2016

About me

Ssst!!! Saya lagi dapet arisan nih, jadi harus posting ini deh:




Saya terlahir dengan nama yang singkat dan mudah diingat, Nur Hidayati. Konon, nama itu pemberian kakek, yang kemudian dipanggil Allah swt setahun setelah saya menikmati udara dunia.

Kata Nur berasal dari Bahasa Arab, artinya cahaya. Dan Hidayati bermakna petunjuk ilahiyah. Jadi, cahaya petunjuk ilahiyah, itulah harapan keluarga menyandangkan nama -yang kebetulan popular di masyarakat itu- padaku. Bukti populernya nama ini, terakhir ketika googling saya mendapati ribuan nama yang sama di facebook dan 136 kembaran di Link-Idn.

Memulai belajar formal pada SDN di sebuah kampung kecil, saya digelari juara kelas setiap catur wulan. Di tahun keenam, daftar nilai ebtanas saya membuat bangga dewan guru, karena selama beberapa generasi, tak ada danem siswa yang mampu menembus sekolah terfavorit di Tuban. Namun saya bersikeras memilih MtsN sebagai bangku menimba ilmu selanjutnya. Orang tua dilobbipun, saya tak bergeming.

Ke lembaga Islam -yang sering disebut sebagai cadangan jika tak lolos SMPN- itulah, saya menghabiskan masa awal remaja. Kembali, semangat belajar saya diganjar juara paralel setiap cawu. Alhamdulillah.

Di luar prestasi sekolah, pun guru banyak menaruh harapan. Mewakili sekolah untuk perlombaan dan kegiatan di luar kota bukan hal baru. Dalam Jambore Daerah Jawa Timur dan Jambore Nasional 1996, saya ikut pula berpartisipasi.

Berbagai catatan prestasi serta danem yang baik membantu saya diterima di MAN 3 Malang. Menguasai Bahasa asing adalah impian dan tantangan. Dan di sekolah itulah saya menaruh harapan.

Bergaul di perantauan bukan hal sulit. Yang membutuhkan waktu adalah beradaptasi dengan pengantar guru yang seratus persen Bahasa Arab dan Inggris. Di akhir cawu pertama Allah swt memberi kejutan.  Di depan khalayak wali murid yang berkumpul di ruang auditorium MAN 3 Malang  hari itu, kepala sekolah mengumumkan namaku sebagai siswa terbaik ketiga di kelas, mengalahkan puluhan teman yang hebat. Bapak berdiri saat namaku disebut dengan perasaan bangga dan berkaca-kaca. Hilang seketika rasa lelah Bapak yang telah menempuh perjalanan jauh dari Tuban untuk mengambil raporku.

Dengan pede, hampir semua kegiatan ekstra-kurikuler saya ikuti. Pramuka, PMR, teater, tapak suci, dan organisasi asrama. Ekskul yang paling berkesan adalah teater. Instruktur yang sering kami panggil Lek Bos, memiliki banyak teman yang berguru langsung pada master sastra alm WS. Rendra. Beberapa kali mereka datang dan berkumpul dengan acara kami.

Masih teringat ramainya reformasi 1998 yang turut membuat kota Malang ramai dihiasi mahasiswa demo tiap hari. Sebagai bagian dari anak teater yang peka jaman, saya ikut berkabung ketika terjadi penembakan mahasiswa trisakti. Bersama lek bos dan kawan-kawan kami mengadakan sholat ghaib, doa, dan membaca puisi. Sejak malam itu, Kami ikat pita hitam di lengan kanan tanda belasungkawa, dan beberapa kali ikut mendengarkan orasi mahasiswa untuk mengguling presiden Suharto. Di teater juga, saya terlibat proyek akhir tahun pertunjukan akbar teater wayang berjudul Firaun jadi raja lagi.

Selain ekskul, beberapa perlombaan dari level asrama hingga kampus, adalah aktivitas sehari-hari yang menyenangkan. Saya mengakrabi kakak kelas yang pintar-pintar hingga dapat menyerap banyak ilmu.

Beberapa tropi telah terkoleksi dari lomba karya ilmiah, seni budaya, bercerita, dan terutama dari keahlian spesial yang akhirnya saya temukan, pidato Bahasa Inggris. Nama Nur Hidayati sering dipanggil dan ditepuki meriah saat pengumuman siswa berprestasi di hari upacara sekolah.

Masuk dunia kampus, saya justru malas berorganisasi, selain di Volunteer corps Palang Merah Indonesia. Selama setahun pertama saya bersusah payah mendapatkan lisensi sebagai relawan PMI Kota Yogyakarta. Ada rasa yang tak terkatakan ketika kita berhasil membantu mengobati siapa saja yang terluka.

Di komunitas itu saya menyadari, jiwa sosial saya sangat kental, sedang mahasiswa kebanyakan sibuk menggalang dana untuk dirinya sendiri, melaui multi level marketing atau waralaba. Tidak masalah juga sih, hanya beda prioritas.

Di semester 5 saya mengajukan judul skripsi. Judul ini lolos pula dalam event pelatihan penulis dan peneliti perempuan sejawa-bali. Alhamdulillah saya masuk sebagai 1 dari 10 perempuan peraih beasiswa yang diusung PPIM UIN Jakarta.

3 tahun 8 bulan, dengan ganjaran nilai A untuk skripsi, dan IPK 3,52, saya mengakhiri dunia kampus.  Just cumloude, but not so bad. Di akhir masa kuliah saya masih berkesempatan mengikuti international forum on plurality, melihat wajah-wajah tokoh muslim dunia yang biasanya hanya saya kenal namanya di dalam buku.

Usai mendapatkan ijazah s1, saya berniat mengajukan beasiswa s2. Namun belum sempat aplikasi itu lengkap, Allah menghendaki jalan hidup berbeda. Ayah muntah darah,  paru-parunya mengalami flek dan gula darahnya tinggi. Saya pulang kampung saat itu juga tanpa bisa menduga kapan akan kembali melanjutkan cita-cita.

Dalam kondisi sesedih itu, saya berusaha tak gagal focus. Setidaknya 4 tahun bergelut di kepalangmerahan, saya punya modal untuk merawat ayah sendiri. Syukurlah.

Beberapa bulan setelah beliau sembuh, tiba waktunya untuk melanjutkan rencana hidup, mencari pekerjaan dan beasiswa s2. Allah mendaratkan kaki saya pada sebuah Islamic Full Day School di Tuban. Di sanalah, saya mengabdi dan menimba banyak ilmu baru, parenting dan pedagogi.

Panggilan beasiswa pun datang. Tes demi tes sukses saya lalui, hingga test interview yang dilaksanakan tepat 10 hari setelah kelahiran bayi pertama saya. Di detik akhir ketika komitmen dipertanyakan, saat itulah galau menyeruak.

Cita-cita untuk belajar ke luar negeri, haruskah membuat kehadiran saya tercerabut dari keluarga? terutama bayi mungil yang baru saja terdengar tangisnya setelah perjuangan penuh taruhan nyawa?

Akhirnya saya tak lolos. Baiklah, ini bukan kegagalan. Ini hanya penundaan. Sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan saat ini bukan berarti tidak akan kita dapatkan selamanya. Saya yakin sangat dengan hal itu.

Saya kembali melanjutkan hidup sebagai seorang guru. Dulu saya beranggapan, menjadi guru berarti stag, terlebih guru SD, karena yang kita ajarkan sebatas apa yang perlu diketahui anak kecil. Namun pengalaman di lapangan sungguh berbeda.

 Menjadi guru, bukan semesta memindahkan isi buku ke kepala peserta didik, namun mentransformasi ilmu dan memunculkan minat belajar yang kelak menjadikan para peserta didik menjadi pembelajar sejati dan penemu sejati.

Itu baru secara pengetahuan atau kognitif. Secara afektif, menjadi guru adalah memiliki niat utuh untuk melahirkan generasi-generasi berakhlak mulia dan peka sosial yang kelak, 20 atau 30 tahun mendatang menjadi pemimpin negeri yang mampu mengembalikan harga diri bangsa yang saat ini tengah tercabik-cabik.

Saya merasa sangat beruntung karena kecintaan pada dunia pendidikan dibalas Allah dengan ilmu praktis yang sangat saya butuhkan, untuk diri, keluarga pribadi, dan masyarakat.

Belum lagi mengingat niat tulus sebagai guru akan diganjar banyak keberkahan hidup. Mudanya usia sekolah tempat saya mengabdi juga menjadi nikmat tersendiri. Kesulitan mencari referensi yang pas untuk pembelajaran, akhirnya memunculkan inisiatif untuk menghadirkan buku-buku karya sendiri.

Saya memproduksi buku-buku pegangan siswa. Satu, dua, tiga, hingga saat ini sudah ada 10 buku. 3 di antaranya telah ber-ISBN. Selain buku, beberapa alat peraga edukatif pun saya buat agar memudahkan siswa belajar. Buku, tulisan, alat peraga, telah beberapa kali mengantar saya mendapat julukan manis; guru teladan, teacher of the month, dan beberapa penghargaan lain.

Saya suka menulis sejak remaja, meski hanya curhat colongan di lembar diary. Namun ketika rutinitas kerja mulai menyita, administrasi pembelajaran yang tidak ada ujung habisnya, saya jadi merasa kehilangan sesuatu dan susah menghadirkannya kembali.

Kehilangan apa itu? Kebiasaan menulis sebelum tidur. Tapi alhamdulillah, lagi-lagi Allah Maha baik. Saat keinginan untuk menulis demikian menggebu dan kerap saya pintakan dalam sujud agar dimudahkan, Allah memberi jalan. Tiba-tiba didatangkanlah orajng-orang yang mengaku gemar menulis.

Bergabungnya saya dengan komunitas menulis tidak saja menambah ilmu dan kenalan, tetapi komitmen. Inilah yang paling saya butuhkan. Saya melamar jadi kontributor majalah sekolah yg dikonsumsi seribuan wali murid, dengan menggawangi rubrik pengetahuan kita.

Semakin dekatnya dunia kepenulisan, mendekatkan banyak informasi dan kesempatan. Termasuk kesempatan bergabung dalam kegiatan backpack mengeksplorasi Singapura bersama penulis ternama Golagong.

Hadiah manis usai kegiatan ini, tidak hanya bangga karena bisa 3 hari travelling bersama mas Golagong, saya juga berkenalan dengan para pecinta literasi lainnya. Salah satunya seorang mahasiswa penjaja buku online.

Bicara tentang buku, sangatlah sesuatu buat saya. Bayangkan saja, diri yang biasanya termanjakan banyaknya toko buku saat merantau, harus menghadapi kenyataan kelangkaan toko buku saat kembali ke kampong halaman. Tak ada toko buku yang bertahan lama di Tuban, jika orientasinya mencari untung semata.

Saat ini hanya ada 2 toko buku di tengah kota. Ukuran tokonya makin lama menciut, pengunjungnya makin lama menipis. Bukunya pun tak lengkap. Makanya, bertemu kawan penjual buku, dari kota paling terpelajar pula, adalah karunia yang pasti sengaja dipersiapkan Allah, bukan kebetulan belaka. Darinya kemudian saya memuaskan dahaga akan buku.

Dan ketika kebiasaan baik ini saya share kepada sesama pecinta buku di kota minim buku, siapa sangka peminatnya lumayan juga. bukan profit yang saya harap, namun niatan membantu sesama pelahap buku untuk memuaskan dahaga akan ilmu. Kalaupun ada beberapa ribu keuntungan dari transaksi tersebut, itu murni sebuah bonus.

Demikianlah, melakukan sesuatu yang kita cintai, berbagi suatu yang kita gemari, menjadi sebuah kesenangan yang akan memproduksi kebahagiaan sejati. Tak perlu mengejar hadiah, penghargaan, laba, reward atau apapun namanya, karena mereka semua akan mengekor kita dengan suka cita. Belum lagi catatan langit yang akan mendampingi kita kelak di yaumul akhir. Semoga.

7 comments:

  1. Jossssss
    Inspiratif sekali mbak nur. Prestasinya bikin sepuluh modul ituloh, bikin ngiler hehe
    Aku calon guru, tapi belum kepikiran mau ngapain. Syedihhh :'(

    ReplyDelete
  2. Jangan dibayangkan sehari langsung jadi ya nurul, itu jangka nyelesainnya lama dan tertatih-tatuh menej waktu. Isinya pun mungkin msih bnyak acakadulnya.
    Semoga nanti nurul bs, jd guru yg penulis, apalagi nulis diktat buat murid2 sendiri. mantap tuh!

    ReplyDelete
  3. Kereeen banget mba hidayati, saluut,.

    ReplyDelete