Tuesday, 23 February 2016

Met Milad FLP :)



Gegara baca postingan  mbak Ella hari ini, jadi ingat kalo kemarin adalah “DENG”nya milad Forum Lingkar Pena (FLP). Selamat bertambah umur FLP, barakallah fii Umrik. Semoga semakin banyak karya besar dan berati lahir darimu, menjadi pelopor sastra santun di era didital, setia berbakti-berkarya-berarti pada Ilahi Robbi dan Ibu pertiwi.

Dan coretan ini kutulis hanya untukmu: 


Saya suka menulis. Namun lebih banyak tulisan ilmiah. Beberapa, Alhamdulillah memenangi perlombaan. Tapi untuk karya popular, saya hanya berani memajangnya di dinding kamar kost. Sekedar memaksa diri agar selalu menulis. Beberapa puisi kadang saya hadiahkan kepada teman yang sedang dirundung duka. Karena melabeli diri sebagai penulis karya ilmiah inilah, saya tak punya nyali untuk unjuk gigi ke media cetak, pun untuk memutuskan bergabung dengan FLP.

          Usai kuliah saya kembali ke kampung halaman, bumi wali di pesisir utara. Tekad agar hawa belajar yang tertempa selama hidup di kota pelajar tak luntur, saya memilih terus menulis dan menjadikan Majalah Akbar milik pemerintah kota Tuban menjadi alamat mengirimkan opini-opini saya. Beberapa modul pembelajaran untuk amemudahkan mereka belajar Bahasa Arab dan Inggris, saya tulis sepenuh semangat. Namun kelamaan, tiadanya komunitas, kurangnya toko buku, berjubelnya rutinitas kerja, mengauskan semangat saya yang tak setebal baja.
          Lalu tahu-tahu, buku harian yang tiap menjelang tidur selalu saya sapa dengan untaian  kata, tak lagi saya pedulikan di mana keberadaannya. Saya tetap menulis, tetapi bukan puisi, bukan cerpen, bukan opini, bahkan sekedar renungan santai. Saya menulis administrasi dan  rencana pembelajaran, serta soal ulangan. Tangan saya mulai kaku, pikiran tumpul, hati saya semakin jarang merespon realitas dan hasrat menulis hilang.
          Suatu saat ketika sedang menata rak buku besar dengan ratusan buku yang berantakan, kertas warna-warni beraneka bentuk menyembul tanpa diharapkan. Saya pungut dan amati, ternyata mereka hasil coretanku yang pernah kupajang di majalah dinding kosku dulu. Saya dibawa flash-back hingga sesi bersih-bersih di akhir pekan itu terlupakan. Lucu dan seru, namun satu suara kecil tiba-tiba muncul tanpa arah, “kenapa kau tak menulis lagi?”
          Menulis! Menulis! Menulis! Kata-kata itu sering saya teriakkan pada diri sendiri. Menulislah agar kau bisa selalu berdiskusi dengan hatimu! Menulislah agar yang kau pikirkan tak hangus jadi debu. Menulislah agar kau dapat berbagi! Menulislah karena siapa tahu  itu menjadi ladang amal yang terus mengalir meski jasadmu telah tertelan bumi. Menulislah! Namun teriakan itu semua membentur dinding lalu menguap, tak menembus hati dan tak cukup kuat untuk menggerakkan tangan  memegang pena atau menatih jari di atas keyboard agar bersenang-senang bermain kata.
           Suatu hari momentum yang telah direncanakan Allah swt sejak zaman azali itu datanglah. Seorang teman yang beberapa waktu sebelumnya saya ketahui telah memiliki banyak koleksi tulisan di kompasiana, menyapa saya, “ustadzah, njenengan suka nulis kan?”
“eh, ehm.. “ jawab bagaimana ya? Iya dan tidak? Suka sih suka tapi tidak istiqomah, Bahasa mudahnya, males, hehe..
Beliau menyampaikan sedang memprakarsai komunitas SEMUT (sekolah menulis Tuban). “ayo bergabunglah dengan kami!” ajaknya. Serasa mimpi, saya over excited. Ya Rabby terimakasih kau jawab kebutuhanku memiliki komunitas untuk saling menyemangati di kota kecil yang langka buku ini.
Akhirnya bergabunglah saya dalam komunitas yang pada 23 Agustus 2014 lalu akhirnya bermetamorfosa menjadi FLP cabang Tuban ini. Dibimbing oleh para aktivis FLP Lamongan yang beberapa telah melahirkan karya, semangat saya terpacu. Semangat itu membuat saya mewajibkan diri untuk memiliki kolom rutin. Surat lamaran saya layangkan kepada pimpinan redaksi lembaga majalah milik lembaga pendidikan tempat saya mengajar, agar saya disetujui jadi contributor tetap di majalah yang dikonsumsi lebih dari seribu wali murid beserta keluarga dan sanak saudaranya itu. Di akun kompasiana saya lebih rajin menulis, pun di blog pribadi. Semakin banyak daftar penulis di friend list medsos saya dan semakin banyak penerbit yang saya kepoin eventnya. Hingga news feed di laman akun isinya tulisan para penulis dan penerbit.
Momentum yang lain terjadi. Suatu saat dari penerbit milik mbak Afifah Afra saya mendapatkan info tentang kegiatan gong-traveling, sebuah program jalan-jalan ke Singapore bersama Golagong. Siapa yang tak kenal penulis produktif Golagong? Surprisenya biayanya murah dan terjangkau. But wait,  ini Golagong sungguhan tidak ya? Saya sempat beberapa menit googling untuk memastikan bahwa akun yang menulis info tersebut asli milik mas Golagong dan nomor contact yang saya hubungi adalah asli milik mbak Tyas Tatanka.
Dan begitulah, saya akhirnya jalan-jalan bersama mas Golagong keliling Singapore.  Juga berakrab ria dengan penulis muda Ade Ubaidil yang kemana-mana modus memamerkan novel “Kafe Serabi”nya yang baru terbit, serta mengunjungi mbak Tyas serta berkenalan dengan para relawan Rumah Dunia di Serang dalam perjalanan pulang dari traveling.
Barokah. Itulah mungkin yang disebut barokah, yang maknanya ziyadatul khair, bertambah banyak kebaikan. Banyak asupan semangat untuk menulis, banyak teman belajar, dan yang terpenting memiliki komunitas. Ya, saya butuh komunitas. Bersyukur tak terhingga Allah swt menuliskan scenario hidup saya untuk berada dalam komunitas ini. Komunitas yang saya butuhkan untuk menjaga keistiqomahan dalam menulis.

note: sebagian tulisan ini ada di  antologi buku Istana yang dibangun dari kata-kata, FLP Jawa Timur, 2016.



2 comments:

  1. Keren, Mbak.. perjalanan yang tidak akan terlupakan...

    ReplyDelete
  2. Terimakasih mbak ella, sdh berkunjung kemari :)

    ReplyDelete