Gegara baca postingan mbak Ella hari ini, jadi ingat kalo kemarin
adalah “DENG”nya milad Forum Lingkar Pena (FLP). Selamat bertambah umur FLP, barakallah fii Umrik. Semoga semakin banyak karya besar dan berati
lahir darimu, menjadi pelopor sastra santun di era didital, setia
berbakti-berkarya-berarti pada Ilahi Robbi dan Ibu pertiwi.
Dan coretan ini kutulis hanya untukmu:
Saya suka menulis. Namun lebih banyak tulisan
ilmiah. Beberapa, Alhamdulillah memenangi perlombaan. Tapi untuk karya popular,
saya hanya berani memajangnya di dinding kamar kost. Sekedar memaksa diri agar
selalu menulis. Beberapa puisi kadang saya hadiahkan kepada teman yang sedang
dirundung duka. Karena melabeli diri sebagai penulis karya ilmiah inilah, saya
tak punya nyali untuk unjuk gigi ke media cetak, pun untuk memutuskan bergabung
dengan FLP.
Usai
kuliah saya kembali ke kampung halaman, bumi wali di pesisir utara. Tekad agar
hawa belajar yang tertempa selama hidup di kota pelajar tak luntur, saya memilih
terus menulis dan menjadikan Majalah Akbar milik pemerintah kota Tuban menjadi
alamat mengirimkan opini-opini saya. Beberapa modul pembelajaran untuk amemudahkan
mereka belajar Bahasa Arab dan Inggris, saya tulis sepenuh semangat. Namun
kelamaan, tiadanya komunitas, kurangnya toko buku, berjubelnya rutinitas kerja,
mengauskan semangat saya yang tak setebal baja.
Lalu
tahu-tahu, buku harian yang tiap menjelang tidur selalu saya sapa dengan
untaian kata, tak lagi saya pedulikan di
mana keberadaannya. Saya tetap menulis, tetapi bukan puisi, bukan cerpen, bukan
opini, bahkan sekedar renungan santai. Saya menulis administrasi dan rencana pembelajaran, serta soal ulangan.
Tangan saya mulai kaku, pikiran tumpul, hati saya semakin jarang merespon
realitas dan hasrat menulis hilang.
Suatu
saat ketika sedang menata rak buku besar dengan ratusan buku yang berantakan,
kertas warna-warni beraneka bentuk menyembul tanpa diharapkan. Saya pungut dan
amati, ternyata mereka hasil coretanku yang pernah kupajang di majalah dinding
kosku dulu. Saya dibawa flash-back hingga sesi bersih-bersih di akhir pekan itu
terlupakan. Lucu dan seru, namun satu suara kecil tiba-tiba muncul tanpa arah,
“kenapa kau tak menulis lagi?”
Menulis!
Menulis! Menulis! Kata-kata itu sering saya teriakkan pada diri sendiri.
Menulislah agar kau bisa selalu berdiskusi dengan hatimu! Menulislah agar yang
kau pikirkan tak hangus jadi debu. Menulislah agar kau dapat berbagi!
Menulislah karena siapa tahu itu menjadi
ladang amal yang terus mengalir meski jasadmu telah tertelan bumi. Menulislah!
Namun teriakan itu semua membentur dinding lalu menguap, tak menembus hati dan tak
cukup kuat untuk menggerakkan tangan memegang
pena atau menatih jari di atas keyboard agar bersenang-senang bermain kata.
Suatu hari momentum yang telah direncanakan
Allah swt sejak zaman azali itu datanglah. Seorang teman yang beberapa waktu
sebelumnya saya ketahui telah memiliki banyak koleksi tulisan di kompasiana,
menyapa saya, “ustadzah, njenengan
suka nulis kan?”
“eh,
ehm.. “ jawab bagaimana ya? Iya
dan tidak? Suka sih suka tapi tidak istiqomah, Bahasa mudahnya, males, hehe..
Beliau menyampaikan sedang memprakarsai
komunitas SEMUT (sekolah menulis Tuban). “ayo bergabunglah dengan kami!”
ajaknya. Serasa mimpi, saya over excited. Ya Rabby terimakasih kau jawab
kebutuhanku memiliki komunitas untuk saling menyemangati di kota kecil yang
langka buku ini.
Akhirnya bergabunglah saya dalam komunitas
yang pada 23 Agustus 2014 lalu akhirnya bermetamorfosa menjadi FLP cabang Tuban
ini. Dibimbing oleh para aktivis FLP Lamongan yang beberapa telah melahirkan
karya, semangat saya terpacu. Semangat itu membuat saya mewajibkan diri untuk
memiliki kolom rutin. Surat lamaran saya layangkan kepada pimpinan redaksi
lembaga majalah milik lembaga pendidikan tempat saya mengajar, agar saya disetujui
jadi contributor tetap di majalah yang dikonsumsi lebih dari seribu wali murid
beserta keluarga dan sanak saudaranya itu. Di akun kompasiana saya lebih rajin
menulis, pun di blog pribadi. Semakin banyak daftar penulis di friend list
medsos saya dan semakin banyak penerbit yang saya kepoin eventnya. Hingga news
feed di laman akun isinya tulisan para penulis dan penerbit.
Momentum yang lain terjadi. Suatu saat dari
penerbit milik mbak Afifah Afra saya mendapatkan info tentang kegiatan
gong-traveling, sebuah program jalan-jalan ke Singapore bersama Golagong. Siapa
yang tak kenal penulis produktif Golagong? Surprisenya biayanya murah dan
terjangkau. But wait, ini Golagong sungguhan tidak ya? Saya sempat
beberapa menit googling untuk
memastikan bahwa akun yang menulis info tersebut asli milik mas Golagong dan
nomor contact yang saya hubungi adalah asli milik mbak Tyas Tatanka.
Dan begitulah, saya akhirnya jalan-jalan
bersama mas Golagong keliling Singapore. Juga berakrab ria dengan penulis muda Ade Ubaidil
yang kemana-mana modus memamerkan novel “Kafe Serabi”nya yang baru terbit,
serta mengunjungi mbak Tyas serta berkenalan dengan para relawan Rumah Dunia di
Serang dalam perjalanan pulang dari traveling.
Barokah. Itulah mungkin yang disebut barokah,
yang maknanya ziyadatul khair,
bertambah banyak kebaikan. Banyak asupan semangat untuk menulis, banyak teman
belajar, dan yang terpenting memiliki komunitas. Ya, saya butuh komunitas.
Bersyukur tak terhingga Allah swt menuliskan scenario hidup saya untuk berada dalam komunitas ini. Komunitas
yang saya butuhkan untuk menjaga keistiqomahan dalam menulis.
note: sebagian tulisan ini ada di antologi buku Istana yang dibangun dari kata-kata, FLP Jawa Timur, 2016.
Keren, Mbak.. perjalanan yang tidak akan terlupakan...
ReplyDeleteTerimakasih mbak ella, sdh berkunjung kemari :)
ReplyDelete