Tuban dan siwalan, 2 hal tak
terpisahkan. Seperti Romeo dan Juliet, Yusuf dan Zulaikha, Upin dan Ipin,
Harry Potter dan Voldemort... (oh tidak!
Jangan sebut namanya)
Tuban, kabupaten di pinggir
pantai utara yang memiliki luas 1.905 km2 ini, adalah pelabuhan internasional pada
masa kerajaan Majapahit. Lokasi yang strategis dan sumber daya alam yang kaya, menjadikan
Tuban jujugan para saudagar Arab dan Cina sejak jaman kaki-nini buyut
kita. Makam Syaikh Akbar Ibrahim Asmaraqandi dan cucunya, Sunan Bonang, adalah
bukti melimpahnya khasanah surgawi yang membuat para suyukh penyebar
Islam di Jawa memilihnya sebagai salah satu titik membangun peradaban.
Dari lautnya, Tuban makmur akan
hasil olahan laut. Dari ikan panggang, terasi udang, kerupuk ikan, petis, sampai
kare rajungan yang banyak diburu penggila kuliner masa kini. Nah kalau dari daratan,
ini dia buah paling khas dari Tuban. Anda buru ke penjuru nusantara pun, ke
Eropa, Amerika, dataran Sahara, kagak bakal ketemu. Memang cuma di sini
adanya, di Tuban. Yup, itu dia, buah siwalan.
Nah, bicara tentang siwalan,
rasanya udah ngiler aja mbayangin yang seger-seger maknyos. Dari antara
masyarakat Tuban yang jumlahnya 1,15 juta jiwa ini, muncullah penemu kuliner khas
Tuban yang orang biasa sebut es dawet siwalan.
Di sebut begitu karena, pertama,
dia disajikan dengan es. Bukan dengan mie, ketan, apalagi bakso. Jadilah, dia
harus disebut es, bukan mie siwalan, ketan siwalan, apalagi bakso siwalan. Masuk
akal bukan?
Yang kedua, disebut dawet
karena siwalannya menggantikan peranan dawet dalam sebuah ekosistem buatan manusia
yang terdapat dalam wadah gelas, berisi es, dituangi santan, dan dicurahi gula secukupnya. Untuk membangun appetite
dan menyegarkan aroma, biasanya anda akan bertemu irisan nangka seukuran dadu
dibelah tujuh (niat amat ngukurnya) ketika menyendok isinya.
Jadi begitu, nama dawet muncul
karena sifat fungsional, bukan karena homofonitas dengan kata lainnya. Nasi liwet,
misalnya, atau bakulnya yang ruwet, apalagi karena ada nasab dengan Stewart
(baca: steiwet), artis yang dari Hongkong atau mana itu.
Bisa jadi, asal-usul es
dawet siwalan ini bermula dari seorang penjual es dawet yang kehabisan dawetnya
ketika pembeli terakhirnya datang. Anda tahu apalah arti es dawet tanpa dawet. Maka
penjual es dawet ini, sekali lagi bisa jadi, berlari susah payah dari
toko sofa sampai warung pasta, hingga akhirnya ketemu ide untuk menjadikan buah
siwalan segar sebagai pengganti dawetnya yang tertukar (oleh uang pembeli).
Nah, whatever... this is it!
Es dawet siwalan, disajikan di pinggir jalan, rasanya enak, haaalal!
Oh... don’t worry abang-nona!
Anda cuma perlu merogoh kocek 400.000 IDR jika ingin mentraktir 100 orang teman
anda pada hari ulang tahun atau syukuran pernikahan. Yup! Suwer ewer-ewer,
harganya HANYA 4000 doang! IDR, tidak menerima dollar, ringgit apalagi koin
game. Jelas?
Di mana bisa menemukannya? Oh, plis..
Tuban memang tak seukuran daun mangga, tapi gampang kok! Jika anda jeli menoleh
kiri kanan di jalan Sunan Kalijaga, tidak sulit mendapatkan penjual beserta
rombongnya. Di pinggir alun-alun Tuban pun ada. Mereka tidak suka main petak umpet,
jadi pasti akan senang anda temukan.
Nah, saudara-saudari, saya yakin
informasi ini cukup helpful dan membuat anda merasa thankful. Maka
dari pada banyak kata, silakan eksekusi saja kakak Bro! Jika anda mampir ke Tuban
dan merasa kehausan tapi isi saku pas-pasan, Es dawet siwalan is the only
choice. Segarnya... misuwur!
mantap mbak.. es cao campur siwalan, biasa ada dihalaman depan wisata pantai boom
ReplyDeleteDijamin suegeeerrr..
ReplyDeleteDijamin suegeeerrr..
ReplyDeleteInovasi baru nih ....
ReplyDeleteWaktu ke Tuban belum sempet kuliner dan belanja-belanja nih. Ulang aaahh...hehehe
ReplyDeleteHayuk sini lagi mbak Denik
DeleteAhhh segeeer nih...
ReplyDeleteSegar plus murah, tapi tak murahan
ReplyDeleteEnak banget baca tulisan mba Hiday.
ReplyDeletePengen.😅
Harusnya ini sekaligus jd tulisan untuk tantangan dr Mba Wiwid tentang kuliner, mba.
lagi kebanyakan tantangan smpe bingung nyelesain mana duluan, mbak
Delete