Tuesday, 7 March 2017
Surat untuk Yoseph
Yoseph, aku mendengarnya lagi. Aku menangis lagi. Hatiku ini lembek sekali. Mungkin Tuhan membuatnya dari tepung.
Andai Budi Doremi datang waktu itu, aku pasti mengira dia menyanyikan lagu itu untuk kita. Bukan, bukan. Aku tau ini karyanya untuk pertiwi. Bahkan, aku menganggapnya sama nasionalis dari lagu perjuangan apa saja. Rayuan pulau kelapa, misalnya.
Yoseph, aku selalu tergoda untuk mempreteli setiap baitnya, menikmatinya untuk mengawetkan kenangan kita sore itu. Biar, biar Budi marah padaku. Melodinya mendarah di jantungku. Liriknya menyulapku jadi anak kecil yang cengeng, menangis tergugu karena rindu Ibu dan engkau yang meninggalkanku, berlari lebih dulu.
Lagu itu masih mengalun, seperti sore saat kita bersama, dulu.
Waktu itu kamu pakai baju merah.
Bukan bajumu yang merah sebenarnya. Tapi legam kulitmu kemerahan. Hingga kaos putihmu semakin memutih.
Yang ku tahu aku pakai baju putih.
Kau yang pakai kaos putih. Aku yang merah, dengan garuda melayang di dada kananku.
Kita bergandengan menyusuri kota. Kita selalu bersebelahan sejak pertama. Saat kau sebut namamu, dan aku tertawa. Nama kita sama. “ Aku Yusuf” kataku.
“Oh ya?” kau hampir tak percaya. Lalu kita sadar ada banyak yang sama. Kita langsung menautkan hati, menautkan tangan, kemana saja. Tidak hanya kota, desa dengan jembatan kayunya, sawah dan embusan hawanya. Sungai dan kemericik airnya. Cinta kita bukan saja se-per-ti Indonesia. Cinta kita memang begitu namanya.
Walau kini kau ada di Wakatobi.
Ya, menyatu dengan lautnya, ikannya. Terumbu karang menyambutmu dan memeluk erat, kau telah menepati janjimu menjaga tanah Ibu.
Yang jelas-jelas aku di Raja Ampat.
Di dalam pikiranku begitu, meski ragaku terlempar sekian-belas ribu kilometer, di belahan tanah dan waktu yang berbeda. Tapi hatiku di sana, bersamamu. Dan aku pasti pulang, memastikan wajahnya tersenyum.
Luasnya lautan memisahkan kita.
Luas, maha luas. Tapi aku yakin setiap menyentuh laut, aku dapat memelukmu. Memeluk ragamu yang telah melebur dengan air birunya.
Oh indahnya bercinta di Nusantara.
Tak pernah ada yang seindah bertemu dirimu. Kau adalah anak yang lahir dari rahim teknologi dengan semangat patriotik yang meletup-letup. Tubuhmu yang kecil tak sanggup menampung itu semua. Hingga cinta membara itu segera menyambar hatiku. Menyetrum mereka. Mungkin karena tegangannya telah melampaui ketinggian, cinta itu juga yang meledakkanmu.
Kita sepakat bila, rasa yang sesungguhnya tak mudah didapat, perlu ada pengorbanan, perlu ada perjuangan, seperti pahlawan.
Tak mudah, tentu saja tak mudah. Matamu selalu sembab melihat gadis-gadis yang lebih hafal menyebut nama idolanya dari antah berantah. Dan pemuda seusia kita yang saling pamer miras agar merasa paling melayang.
Kau bilang, ”haruskah setiap anak terlahir di tengah deru bedil? Haruskah setiap bayi didewasakan oleh kebengisan penjajah? Agar mereka paham mahalnya harga untuk menancapkan merah putih di dapan halaman rumahnya?” dan kau terus akan menangis. Tak bisakah angin merdeka membuat setiap jiwa lebih menyayangi dirinya, tanahnya, dan kebebasan jiwanya? Kau menangis lagi, merapal doa untuk semua anak Ibu kita.
Kita tulis cerita yang takkan kita lupa. Bersama di bawah langit senja.
Kita nyatakan saja pada mereka lewat sebuah lagu,
asmara kau dan aku di bumi khatulistiwa.
Itu kau! Sangat kau! Kau yang selalu menulis mimpi, menyulam asa, menjadi habibie, menjadi Newton dari papua. Kau sedang dalam perjalananmu membuat hadiah tak terlupakan bagi ibu. Kau yang tak pernah malu-malu mengikrarkan sumpah sayangmu pada setiap jengkal tanah dan air di bumipertiwi. Kau yang membuatku tidak saja jatuh hati pada ketulusanmu, tapi menyadari aku begitu banyak berhutang pada negeri ini. hutang yang mungkin tak dapat kucicil hingga mati.
Yoseph, usai pertemuan kita yang terakhir, aku masih yakin kobaran semangatmu menyalurkan tenaga di badanku. Kau memang power bank.
Tapi tanpa angin dan hujan, roommate-mu hari itu menyiksaku dengan kedatangan emailnya. Kau terjatuh saat profesor yang kau idolakan tengah berceramah menggebu di aula. Semua orang panik. Hospitalized, kau meringkuk di ruang putih beberapa lama. Tidak seperti kanguru yang menyimpan oroknya di dalam kantung, membuainya sampai siap lepas di tanah terbuka, tidak begitu kau di negaranya.
Yoseph, ijinkan aku menulis ini untukmu. Meski aku tahu kau mengakrabi liriknya di luar kepala. Kau bisa meminta bantuan search angine kapan saja, copy-paste dan melantunkankannya keras-keras sambil menahan deras sungai yang berhulu di sudut matamu.
Waktu itu kamu pakai baju merah
Yang ku tahu aku pakai baju putih
Kita bergandengan menyusuri kota
Dan cinta kita seperti Indonesia
Walau kini kau ada di Wakatobi
Yang jelas-jelas aku di Raja Ampat
Luasnya lautan memisahkan kita
Oh indahnya bercinta di Nusantara
Kita sepakat bila rasa yang sesungguhnya tak mudah didapat
Perlu ada pengorbanan, perlu ada perjuangan, seperti pahlawan
Kita tulis cerita yang takkan kita lupa
Bersama di bawah langit senja
Kita nyatakan saja pada mereka lewat sebuah lagu
Asmara kau dan aku di bumi yang indah di khatulistiwa
Surat ini hendak kutitipkan pantai. Kulajukan agar menuju abumu berada. Menjadi nisanmu.
Rotterdam, 2017 Maret.
Keren mak Hiday,suka sama kata kata yoseph yang ini
ReplyDeleteKau bilang, ”haruskah setiap anak terlahir di tengah deru bedil? Haruskah setiap bayi didewasakan oleh kebengisan penjajah? Agar mereka paham mahalnya harga untuk menancapkan merah putih di dapan halaman rumahnya?” dan kau terus akan menangis. Tak bisakah angin merdeka membuat setiap jiwa lebih menyayangi dirinya, tanahnya, dan kebebasan jiwanya? Kau menangis lagi, merapal doa untuk semua anak Ibu kita.
Keren
ReplyDelete