Modern, bersih, dan tertib. Itulah 3 kata paling pas untuk menggambarkan Singapore dari beberapa cerita dan video yang saya dapati. Dan setelah Allah swt memberi kesempatan menjejakkan kaki kesana, Masya Allah… banyak betul pelajaran berharga dari negeri kecil berlambang singa, yang baru saja dinobatkan sebagai pengelola sistem pendidikan terbaik di dunia versi PISA.
Perjalanan mengeksplorasi Singapore berawal tepat setelah perjalanan naik-turun melintas awan mencapai finish di Bandara Changi Singapore. Saya yang masih eneg menahan jetlag, terbengong-bengong melihat display warna-warni yang disuguhkan di sepanjang dinding bandara, sembari telinga patuh mendengar aba-aba dari tour guide, agar aman dari pemeriksaan imigrasi bandara.
Lega dari urusan imigrasi, kami berjalan panjang dan lama untuk mendapatkan kartu EZ link. Memegang kartu ini berarti kita bebas naik kendaraan umum apa saja di seluruh penjuru Singapore dalam jangka waktu sesuai kesepakatan. Ada harga yang harus dibayar ketika kartu EZ link milik seorang teman , hilang. Dia harus membeli kartu sekali pakai setiap hendak naik kendaraan umum. Lebih boros, lama mengantri di vending machine, dan ribet. Begitulah harga dari sebuah kecerobohan di Singapore.
Selesai dengan segala urusan di bandara, saatnya saya membuktikan cerita orang tentang bagaimana asyiknya berkendara dengan kereta cepat Singapore yang sering disebut MRT (Mass Rapid Transport). Dan wow!!! Kesan pertama saya justru karena MRT mirip sekali dengan commuter line Jakarta jika tidak sedang berjubel. Eh terbalik ya, maksud saya commuter line telah berhasil menduplikat MRT Singapore (mungkin pabriknya sama??). Bedanya, justru pada aspek yang sangat prinsip dari sebuah identitas sebuah alat transportasi massa. Singapore MRT dilengkapi dengan cctv, sehingga pelanggaran dan tindak pidana di kendaraan umum dapat dikontrol, dan dinding-dinding MRT penuh warna-warni tulisan yang isinya iklan masyarakat.
Begitu turun dari MRT di kampung Bugis, pemandangan kontras tersaji di hadapan saya. Gedung-gedung tinggi tapi bersih, jalanan luas tapi tidak macet, modern tapi asri, ramai tapi teratur. Di perjalanan menuju penginapan, saya sempat berhenti mencicipi es krim Singapore yang khas berbalut roti atau wafer. Hmm.. yummy. Terlebih karena menikmatinya di trotoar yang bersih dan nyaman, sambil mengamati lalu lintas jalanan di sebuah negeri yang masih asing.
Penginapan yang saya tempati adalah hotel khusus para backpacker. Berdekatan dengan masjid Sultan, masjid tertua di Singapore, tidak sulit untuk mendapatkan makanan halal dari resto-resto Pakistan hingga warung Padang. Suasana di kampung bugis sangat timur. Di Haji lane, kita akan menjumpai barisan bangunan dengan bentuk jendela-jendela khas melayu. Orisinalitas bangunan yang berjajar di satu jalan kecil ini terjaga dengan lisensi dari UNESCO sebagai world heritage site. Padahal di sisi kiri kanan dan jalan keluarnya, bangunan tinggi ala Eropa rapi berjajar. Unik.
Di hari pertama eksplorasi Singapore, saya berkesempatan mengunjungi Perpustakaan Nasional. Umumnya perpustakaan, buku-buku berjajar rapi di rak. Beberapa ruang baca penuh terisi pembaca yang duduk tenang memegang buku. Yang berbeda adalah ruang baca anak, yang didesain manis dengan tema rumah pohon. Tidak hanya buku, beberapa mainan pun tersedia di sana, membuat para pengunjung junior betah menghabiskan waktu di perpustakaan.
Selepas puas mengitari perpustakaan nasional, tujuan saya sore itu adalah menikmati pemandangan indah di Clark Quay, berupa sungai wisata di mana pengunjung dapat menikmati panorama sepanjang sungai bersih itu dengan perahu. Di clark Quay kami menyaksikan betapa sebuah sumber daya alam dari negara kecil yang miskin panorama alam itu bisa menjadi harmoni yang manis. Bagi kelas menengah ke bawah, kawasan itu merupakan tempat mencari rizki, sementara bagi kelas menengah ke atas, clark Quay dan sekitarnya adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan rekreatif dengan cuci mata dan shopping. Di tempat ini, terdapat pula sudut menambatkan locks of love sebagaimana di Perancis, Cina, Italy dan Korea.
Perjalanan berlanjut di hari kedua. Pagi setelah menikmati nasi padang dan air kesturi di kampung Bugis, saya langsung menaiki bus menuju Nanyang University. Menikmati pemandangan Singapore dari bangku paling depan sebuah bus tingkat, sangatlah sesuatu. Bangunan tinggi berjajar rapi, bersih dan asri. Tidak jarang terlihat taman gantung dari gedung-gedung tinggi. Di jalanan tertib yang lebih didominasi kendaraan umum daripada mobil pribadi, saya tidak menjumpai polisi. Istilahnya, polisi dibayar untuk tidak menilang. Semua pengendara sadar akan hak dan kewajiban masing-masing. Kenapa lalu lintas bisa sedemikan tertib? Saya bertanya-tanya. Jawabannya adalah, fungsi kontrol yang maksimal. Di tempat-tempat umum bertebar cctv. Jika pengguna jalan tidak mematuhi kewajiban, maka haknya bisa dicabut sewaktu-waktu. Sistem sebab-akibat hak dan kewajiban itu kemudian menumbuhkan kebiasaan yang mantap pada warga negara Singapore. Di setiap halte, bis berhenti untuk menaikturunkan penumpang. Jalanan pun dihiasi iklan lalu lintas dan layanan masyarakat yang warna-warni dan indah dipandang mata.
Di Nanyang University, tempat khusus yang saya datangi adalah perpustakaan milik fakultas teknik. Di antara lalu lalang mahasiswa dan pegawai kampus berparas oriental, India dan melayu, ada dua mahasiswa berjilbab yang paras Indonesianya tidak biasa disembuyikan. Usut punya usut, mereka adalah 2 orang peserta Exchange Student dari UGM dan ITB yang sedang menikmati 1 semester beasiswa di Nanyang.
Siang harinya, saya menghabiskan waktu di pulau Sentosa. Di pulau wisata ini banyak wahana edukatif yang bisa dikunjungi jika kita berdompet tebal. Namun jika kita tourist berbudget pas-pasan, cukuplah untuk pose di depan maskot bola universal studio, lake of dream atau patung merlion Sentosa. Karena memang itulah Singapore, negara kecil minim sumber daya alam yang menyedot wisatawan dari berbagai negara di dunia hanya dengan tempat rekreasi buatan. Bahkan saking minimnya sumber daya dan lahan, ada satu hal tak sedap dipandang yang selalu saya jumpai setiap kali melihat apartemen penduduk, yaitu jemuran baju yang menggelantung sekenanya di jendela atau besi gantungan di sekitar jendela-jendela gedung tinggi tersebut. Ketika saya konfirm hal ini, mereka mengaku bahwa ini sesuatu yang wajar mengingat sempitnya lahan di Singapore. Mendengar hal ini, saya jadi bersyukur karena saya orang Indonesia, negeri yang berlimpah sumber daya. Satu lagi, jangan harap anda akan menemukan sawah di Singapore. Lantas dari mana kebutuhan pokok (beras, gandum, air dan lain-lain) mereka tercukupi. Dengan mengimpor tentu saja. Dari situ kita jadi maklum betapa mahalnya biaya hidup di Singapore. Air minum botol yang biasanya dapat kita beli hanya dengan Rp.2000 di negara kita, di Singapore bisa jadi 10 kali lipatnya.
Sore hari, saya menuju pusat perhatian Singapore. Apalagi jika bukan merlion statue yang populer itu. Namun sebelum ke merlion kami sempatkan menuju Marina bay sands, 3 gedung tinggi yang menjunjung perahu di atasnya. Dari belakang gedung tersebut, terhampar pemandangan kebun ala avatar gardens by the bay yang memukau dan Singapore flyer, komidi putar raksasa yang kokoh dipeluk awan senja. puas dengan pemandangan menakjubkan tersebut barulah saya ambil jalan memutar menuju Youth Olympic Park dengan segala keindahan penampakan gedung-gedung mewah yang melatarbelakangi Merlion. Semakin malam pemandangan dari titik merlion jadi semakin luar biasa. Marina bay sands jadi terlihat sebagai perahu yang meneteskan air, sementara kerlip lampu membentuk lingkaran raksasa dari Singapore Flyer. Sedangkan di hadapan merlion sendiri, lampu-lampu yacht membentuk siluet perahu di atas air. Malam belum terlalu larut saat saya daratkan langkah ke china town, salah satu tempat berburu souvenir selain di little India. Larut malam baru saya berjumpa kasur empuk di penginapan setelah seharian yang melelahkan.
Esok paginya, persiapan kembali ke tanah air, saya hanya berjalan-jalan di sekitar penginapan. Saatnya melihat masjid Sulthan dari dekat. Masjid yang luasnya tidak lebih dari masjid jami’ kota Tuban inipun dilengkapi dengan cctv dan LCD yang memproyeksikan aktivitas imam saat memimpin shalat dan khatib Jumat. Kaligrafi yang manis melingkari dinding masjid. Beberapa kita berbahasa Arab di sudut perpustakaan, serta proposal terbuka untuk upgrading bangunan masjid tertempel manis di dinding.
Siangnya, tanpa terasa, saya sudah harus melambaikan selamat tinggal kepada negara kecil ini. Air Asia QZ276 mengantar saya kembali ke negeri tercinta Indonesia. Negeri yang begitu saya rindukan ketika susah mencari tempat shalat di Singapore. Negeri yang saya rindukan ketika harga makanan dan minuman selama 2 hari terakhir begitu membelalakkan mata, dan negeri yang saya rindukan ketika mengamati betapa acuhnya satu sama lain warga negara tetangga kita. 3 hari mengeksplorasi Singapore, demikian banyak yang saya dapatkan. Alhamdulillah ya Rabb, telah Kau ijinkan aku belajar banyak dari sebuah negeri kecil di samping negaraku tercinta. (end)
Bagus kalo ada foto-fotonya mbak.
ReplyDeleteIya blm sempat nginsert foto, nanti tak edit lg ya :))
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKapan yaa...sampai juga di Singapura...
ReplyDeleteButuh dana berapa sekali backpaker mba, hehehe
ReplyDelete*serius
Like :)
ReplyDeleteRina: gak mahal bgt kok, k singapore 5jt udah lengkap sm uangsaku dan ngurus paspor :)
ReplyDelete