Nuun, demi pena dana apa yang dapat
mereka tuliskan
Sejak kecil saya suka menuliskan kisah harian dalam buku haian.
Hingga SMA, ada beberapa buku harian yang tersimpan, menjadi sebuah dokumen catatan
pribadi. Suatu saat ketika membutuhkan, buku-buku itu akan menjadi lorong waktu
untuk mengaca sekaligus bilik nasihat dari tulisan masa lalu.
Hingga suatu hari, segalanya berbeda,
ketika ada yang menghadiahkan sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Buku
itu, bukan buku biasa. Buku harian dari pemikir yang telah
mati, bernama Ahmad Wahib. Buku harian yang teramat berharga, hingga setelah
pemiliknya mati, coretan-coretannya tak direlakan masyarakat dan kawan dekatnya
untuk mengikut pergi. Buku itu diterbitkan, diabadikan, sebagai potret
pikiran-pikiran seorang Ahmad Wahib tentang Islam, politik, lingkungan sosial,
serta pergerakan yang dia geluti.
Di bangku kuliah saya bertemu buku
serupa, dari tokoh berbeda. Catatan harian sang Demonstran oleh Soe Hok Gie. Baik
Buku Wahib dan Gie, keduanya ditulis oleh 2 orang yang berbeda latar belakang,
tempat tinggal, dan lingkungan social. Wahib di Jogja. Gie di Jakarta. Namun keduanya
memiliki kebiasaan sama, semangat yang
sama, dan hidup di jaman yang sama. Catatan kegelisahan, perenungan, dan
ide-ide tak biasa yang tak sembarang orang dapat menerima.
Catatan harian keduanya dibukukan ketika
si penulis buku harian telah tiada. Karena kuatnya pikiran yang mereka tuangkan
dalam tulisan pribadi, teman-teman almarhum tak rela jika pikiran keduanya tak
terbagikan kepada khalayak. Betapa dahsyatnya efek dari tulisan,meski hanya
berawal dari sebuah catatan harian, membuat mereka berdua tetap sanggup
bersuara meski raganya tiada.
Membaca 2 tulisan tersebut, saya jadi
iri pada Gie dan Wahib. Sejak itu saya berupaya menuliskan sesuatu yang lebih
manfaat di buku harian. Suatu saat ketika saya tak lagi hadir di dunia, saya akan
masih memiliki warisan yang dapat menghadirkan diri saya. Bukan raga saya, tapi
pikiran.
Menulis bukanlah soal hobi dan interest.
Menulis adalah meninggalkan warisan. Pada keluarga kecil yang ditinggalkan, itu
pasti. Pada teman dan kerabat yang menyayangi, itu mungkin. Tapi tidak
mustahil, menjadi warisan untuk bangsa dan seluruh alam.
Hanya dengan menulis kita mampu berdiskusi dengan hati nurami. Menulis akan menyimpan geliat pikiran agar tak hangus menjadi debu. Menulis adalah berbagi. Menulis, siapa
tahu itu, akan menjadi ladang amal yang terus mengalir meski
jasad telah tertelan bumi.
*Ini essay yang saya tulis untuk bahan acara diskusi sastra SERAT RATRI di Pradya FM Tuban, 30 Maret 2016
No comments:
Post a Comment