Sunday, 24 April 2016
Mitos Memulai
Seorang teman, 10 tahun terpaut usianya dariku. I was 21 years, at the moment. Kami sama-sama mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, dengan perbedaan usia yang demikian ekstrim. Ya, dia telah menyandang label sebagai mahasiswa semester akhir selama sekian tahun. Dan untung kampus tidak (saat itu, belum) punya wewenang untung menghanguskannya dari daftar nama mahasiswa, selama dia masih memperpanjang biaya SPPnya.
Aku yang sedang di usia super kepo, menanyainya tanpa sungkan hingga membuatnya tersudut sekaligus cengengesan. Ternyata jawabannya dapat kutebak. Serentetan proses panjang yang membuatnya terjerembap dalam jurang yang dalam dan makin dalam. Awalnya karena kesulitan. maka lahirlah malas. Dengan malas, penundaan muncul bertubi-tubi. Karena menunda, jadi lupa. Asyik dengan urusan yang lain. Masa selama itu lupa? Enggak juga, ada saat-saat ingat dan ingin segera menyelesaikan, tapi… karena kelamaan, maka… muncul malu dan malas memulai lagi.
Nah malu memulai.
Kisah yang lain, terjadi pada seorang santri ma’had yang juga siswi SMA. Menurut saya dia terlalu manja, dan entah bagaimana Ibu Ayahnya memperlakukannya selama ini hingga anak seusia itu bisa sedemikian egois dan keras kepala. Sudah lebih dari 3 bulan dia mogok dari sekolah. Kalau dipikir, sekolahnya ini terlalu baik atau tidak tegas ya? Entahlah.
Awalnya dia mengaku sakit. Maka seringlah surat ijin dia layangkan. Dari beberapa kali pulang balik, berujung dengan pulang lama. Dan belum ada ending hingga kini. Padahal jika sekedar karena masalah fisik, dokter sudah menegaskan dia tak sakit apa-apa. Jadi masalahnya bisa ditebak, masalah mental.
Konon, gadis ini terluka hatinya karena perkataan guru, dan atau teman. Jadi penyakitnya dia bawa-bawa. Entah sebenarnya karena hati luka maka penyakit menyergap, atau karena berlagak sakit maka muncul sakit betulan. Walhasil dia berhasil menuntaskan hajatnya untuk bolos, seminggu, dua minggu, hingga berbulan-bulan, dengan alasan sakit. Bahkan pihak sekolah yang, sekali lagi, entah karena terlalu baik atau terlalu lembek ini, merayu-rayu, masih saja si gadis belum hendak kembali.
Nah kira-kira, tidakkah dia malu, terus-terusan berada di rumah? Bagimana dia akan menghadapi rentetan pertanyaan dari kawan ayahnya atau kawan ibunya, kawan pakdhe-budhe, paklik-bulik, atau kawannya sendiri? Tidakkah dia ingin kembali? Saya yakin ingin. Lambat laun dia akan merasa bosan berada di jurang yang dibangunnya sendiri. Tapi masalahnya, jurang itu sudah cukup dalam karena penundaan demi penundaannya, dan tentu saja dia, malu untuk memulai.p;l
Nah lagi-lagi. begitu beratnyakah memulai? Katanya, ketika kita memulai, maka separuh beban telah kita lewati. Mungkin ada benarnya. Tapi bahaya, jika ini menjadikan kita selalu berapologi tentang betapa sulitnya memulai.
Untuk memulai, mulai sajalah! Jangan ada kata berat. Letak berat itu bukan di depan mata. Tapi di dalam otak yang kemudian meracuni seluruh seluruh sendi, syaraf, dan organ tubuh kita. Lalu kita, manusia yang dibekali seperangkat sistem untuk berfikir ini, mencari dan mencari alasan yang selalu tepat, untuk menunda.
Untuk memulai, mulai sajalah! Jangan percaya tentang mitos sulitnya memulai. Ya, mitos, bukan fakta! Coba mulai sekarang kita ajarkan pada otak kita untuk percaya, bahwa memulai itu tak susah, menyelesaikan juga tak sulit. Yang membuat pekerjaan kita berat adalah malas dan menunda.
Adalah sebuah quote dari teman, yang selalu saya ingat untuk mengeliminir rasa malas dan menunda. Kira-kira begini bunyinya, “jika aku mendapatkan tugas yang berat, maka akan kubayangkan aku sedang ditantang membuat rekor. Akan kulakukan secepat-cepatnya dan kucetak namaku dalam museum rekorku.”
Menarik tidak? Mari kita coba!
quote temannya super sekali ,mbak Hiday! kemalasan memang musuh nomor satu untuk memulai
ReplyDelete