Kawan, apa yang akan kau rasakan,
seandainya dokter menjatuhkan vonis kematian?
Dulunya aku mengira hal
seperti ini hanya terjadi di sinetron televisi. Tapi hari itu, seorang dokter mengatakan hal
tersebut khusus untukku, saat
memeriksakan kondisi kehamilan yang berusia tepat 9 bulan. Kalo ingat
lagi jadi tersedu... huhuhu..
Jadi ceritanya gini….
“ibu, dan bapak juga harus tahu,
kelahiran ini beresiko. Kondisi ari-ari di bawah, besar kemungkinan menyebabkan
perlengketan dan perdarahan.” Aku masih belum ON untuk mencerna ucapan bu dokter cantik itu, tapi dia
sudah menambahi,
“Resikonya bisa pengangkatan rahim, yang berujung pada perdarahan
hebat. Dan hal terburuknya, bisa mengakibatkan
kematian”
What??? Mati?? Siapa? Aku???
Hatiku jumpalitan mendengar vonis dokter yang pasiennya bejibun itu.
Meski yang ngomong
tampak selooww banget, setenang
dan sewajar sedang
mengabarkan berita tak penting seperti ‘saya sedang bernafas’.
“maaf, saya katakan ini
sejujurnya” katanya lagi penuh percaya diri.
Oh dok, taukah anda??? kejujuran itu membuat
hatiku hancur berkeping-keping. Huhuhuhu....Tangisan saya
sudah seember, tapi cuma dalam hati. Sungkan
lah, lagi di klinik dokter.
Sepanjang perjalanan pulang,
hatiku bermonolog tak menentu.
‘Ya Rabb, jika memang ini akhir usiaku tolong jagalah anak dan keluargaku.
Tapi jika ini memang sudah kehendak Tuhan, kenapa aku harus menghawatirkn
keluargaku? Tuhan pasti menjaganya karena Tuhan selalu memiliki rencana
terbaik.
Jika yang dikatakan dokter itu benar,bukankah aku justru harus
menghawatirkan diriku sendiri? Cukupkah
amalan-amalanku untuk menghadapNya?’
batinku nelangsa
‘tapi meninggal saat melahirkan, bukankah itu mati syahid? Dan mati dalam
kondisi syahid, bukankah itu cita-cita setiap muslim? Ya, akupun
menginginkannya. Tapi... ya Tuhan, seandainya kau ijinkan aku merawat dan
memberikan ASI pada anakku...’
pikiranku berkelana kemana-mana.
Nelangsa, pasrah, menguatkan diri, campur aduk jadi satu.
“Kita ke bidan sekarang?” suara
suami mengejutkan lamunan melow-ku. Perasaan yang tak menentu membuatku
mengabaikannya sejak keluar dari klinik dokter kandungan tadi.
Setelah mengiyakan pertanyaannya,
aku beranikan diri mendengar pendapatnya,
“Sayang, bagaimana pendapatmu soal ucapan dokter tadi?” dag-dig-dug aku menanti jawabannya
bahkan sebelum pertanyaan usai kulontar.
“Dokter itu cuma bisa prediksi,
bukan menentukan nasib. Gak usah dipikir nemen-nemen ya..” Ooh.. surprise aku mendengarnya. Jauh
dari perasaanku yang acakadul. Dia sangat tenang dan bijak.
Kupikir-pikir, betul kata suamiku. Cuma prediksi dokter
saja, kenapa harus
khawatir?
Soal mati bukankah semua orang
akan mati?Lagipula semua perempuan
melahirkan pasti punya resiko mengalami kematian. Dan matinya, tentu mati yang mulia.
Sejenak kalimatnya tadi menenangkanku.Dan sepertinya dia sengaja mengajak bicara tentang topik lain agar aku tak mengingat vonis yang menghantui tadi.
Sampai di klinik bidan, kami mengurus jaminan
persalinan agar segera bisa memulai rawat inap, pemeriksaan ini itu hingga
akhirnya siap menjalani persalinan dengan operasi caesar.
Berbekal hasil pemeriksaan dari
dokter tadi, bidan langgananku yang ramah ini membuatkan surat rujukan dan
menulis dengan detail kondisi kehamilanku.
Plasenta previa, Letsu.(Ari-ari di bawah, letak bayi sungsang)
“Ah nggak papa, mau letak
sungsang atau tidak, kalau operasi Insyaallah nggak ada masalah. Bayinya mulus,
kepalanya aman karena nggak perlu mengejan” komentarnya sambil menulis, dengan
senyum tulus yang sangat riang. Bidanku ini terkenal suka memotivasi. Aku yang
mendengar komentarnya berusaha menyunggingkan senyum terpaksa yang mungkin aneh
untuk dilihat.
Sebelum keluar dari klinik beliau
menambahkan lagi, “kalau sudah lahiran, kabari ya... Insya Allah saya sempatkan
mampir menjenguk di rumah sakit” dan dengan senyum optimal di wajahnya, tangan
beliau mengelus perutku dan
berkata” sampai ketemu dedek bayi”
Di perjalanan dari klinik bidan, aku melamun lagi.
‘Satunya dokter kandungan, satunya bidan. Dua-duanya tahu seperti apa
kondisiku.
Satunya memperingatkan tentang resiko kematian. Satunya memberikan
optimisme dan imajinasi indah tentang kelahiran janin di perutku.
Paradigma.
Aku ingat, kesedihan,
kekhawatiran, kegelisahan, semuanya hanya tentang apa yang kita pikirkan. Aku ulang-ulang
ucapan suamiku dalam hati.
Dokter cuma bisa memprediksi, tidak menentukan nasib.
Aku mengingatkan diriku pada
sebuah hadis bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati. Berarti
aku ini tidak cerdas ya?
Huhuhu… jadi introspeksi. Ada atau tidaknya vonis itu
seharusnya manusia memang harus mengingat mati. Kenapa kita harus takut
mengingat mati? Dan
kenapa aku justru takut diingatkan pada kematian?
Sejujurnya, karena aku belum yakin amalanku ini cukup untuk melewati
titian menuju Istana abadi. Huhuhu… mewek
lagi.
Sampai di rumah, sambil menyiapkan
segala keperluan rawat inap esok pagi, aku perbanyak istighfar, dzikir dan tilawah.
Aku lakukan shalat taubat, sholat tasbih, sholat hajat. Aku panjatkan doa dalam
tangisan yang berlinang-linang agar Allah mengampuni segala kesalahanku dan
seluruh keluargaku, serta memberikan kepada kami sekeluarga umur yang panjang
dan barokah. Aku memohon maaf dan doa dari ibu dan saudara-saudaraku. Aku
habiskan sepanjang malam itu membaca Quran.
Jadi teringat sebuah ucapan, “bahkan jika waktu kita tinggal
sedikit, kita harus tetap lakukan yang terbaik.” Ah mengingat kalimat itu
membuat air mataku
berderai lagi.
(tahan dulu ya sodara,
masih ada lanjutannya)
saya kira tadi cerita fiksi, ternyata bukan...
ReplyDelete(bacanya dari part 2, soalnya)
Ini edisi kisah paling berkesan, mas Aydi
DeleteIni edisi kisah paling berkesan, mas Aydi
DeleteBaca part 2 nya dulu
ReplyDeleteMonggo mbak Ratih...
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteKondisi ini saat lahiran anak keberapa mba Hiday...?
ReplyDeleteAnak kedua mbak Rif
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteSubhanallah Ngeri kali mbak, Barakallah ya Mbak. semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiiin... Terima kasih Ian
DeleteTerharu...
ReplyDelete:'(
Delete