Sunday, 2 July 2017

Ayah: Sebuah Biografi tentang Buya Hamka



Judul Buku:Ayah
Penulis: Irfan Hamka
Penerbit: Republika
Tahun: 2013
Tebal: xxviii+324 hal


HAMKA adalah nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Beliau bapak bangsa yang dikaruniai Allah swt berbagai keahlian sehingga kita dapat menjulukinya dengan berbagai sebutan: pejuang muslim, mufassir, ulama, jurnalis, sastrawan, juga politisi.


Karena kearifan dan keluasan ilmunya, beliau dikenal dengan sebutan Buya, panggilan khas masyarakat minang yang dihormati. Kata buya merupakan adopsi dari Bahasa Arab yang berarti Bapak.

Dari masa ke masa, sosok dan pemikiran Buya Hamka banyak menginspirasi, dari kajian agama; tafsir, tasawuf, hingga sastra. Pemikiran dan karyanya banyak dirujuk dan ditulis ulang, termasuk oleh putranya, Irfan Hamka, yang memotret kehidupannya melalui biografi berjudul ayah. Irfan dengan sangat detail menceritakan ihwal lehidupan Buya dari kacamata seorang anak yg masih lecil hingga dewasa, sampai ayahandanya mengakhiri usia.

                       Semenjak hidupnya, Buya Hamka hanya mendapatkan pendidikan formal selama 3 tahun, itupun tidak tamat. Semangatnya yang luar biasa yang membuatnya menguasai banyak bidang ilmu. Di usianya yang ke-15, Buya merantau ke Jawa untuk berguru pada para pemimpin Islam seperti Ki Adi Kusumo, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim dan Sutan Mansyur. Pada usia ke-19, tekadnya untuk mendalami ilmu agama dan Bahasa Arab mendorongnya berangkat ke Mekkah, sekaligus berhaji.

            Lebih dari tujuh bulan Buya bermukim di tanah suci. Untuk memenuhi biaya hidup, disambinya bekeja sebagai pegawai percetakan. Pada jam istirahat, dimanfaatkan waktunya untuk membaca berbagai kitab agama yang terdapat di gudang tempat kerjanya, mulai tauhid, filsafat, tasawuf, sirah, dan lainnya. Jika bukan karena saran Haji Agus Salim, Buya tidak hendak kembali ke tanah air dan masih ingin berlama-lama di pusat peradaban tersebut.

          Sesampainya di Indonesia, beliau menetap di Medan. Buya mulai menulis, tentang kisah perjalanannya, juga pandangannya tentang Jemaah haji Indonesia yang masih perlu ditingkatkan pembinaannya. Opininya di berbagai koran mulai ramai dibicarakan. Buya kemudian mengajar ilmu agama di kota Deli dan menjadi wartawan, untuk memenuhi hajat hidupnya. Tahun 1959, Buya mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. (Irfan Hamka: 2013)

            Kecintaan Buya menulis menghasilkan ratusan karya yang tak hanya meliputi satu bidang kajian saja. Ilmu keislaman, politik, sejarah, budaya, sastra, bahkan tafsir AlQuran 30 juz. Tafsir Al Azhar adalah karya fenomenal yang sangat dihormati berbagai ilmuwan dan ulama sampai ke beberapa negeri jiran. Adapun karyanya yang lain seperti; Si Sabariyah, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan tabligh, Ayat-ayat Mi’raj, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli, Terusir, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Falsafah hidup, Demokrasi Kita, Ghirah, Tasawuf Modern, Perkembangan Tasawuf, dan Kenang-kenangan Hidup jilid I, II, III.

            Dari sekian karyanya tersebut, Buya bukan tidak mendapat tantangan sama sekali. Kondisi politik yang memanas pada masa subur Partai Komunis Indonesia, membuat 2 sastrawan yang bertolak belakang paham dengan Buya, Pramudya Ananta Toer dan Ki panji Kusmin, menyudutkannya sebagai plagiator dari Alvonso Care, pujangga asal Perancis. Bahkan hingga saat ini isu plagiarisme ini masih sering dikumandangkan sebagai sinyal peperangan karya sastrawan Islam dan sekuler. (taman-sejarah.blogspot.com)

            Dengan berbagai keahlian dan pengalamannya, Buya Hamka banyak didatangi tawaran kekuasaan. Namun Buya telah memantapkan pilihannya sebagai ulama yang memiliki kredibilitas. Pada tahun 1960, Buya ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh Panglima ABRI jenderal Nasution. Tawaran itu ditolak karena Buya khawatir jabatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik mengingat aktivitasnya sebagai penulis dan tanggungjawabnya sebagai ulama. Pada tahun 1970, Buya menolak diangkat menjadi Duta Besar di Saudi Arabia karena berat meninggalkan jamaah masjid Agung Al Azhar di dekat tempat tinggalnya di Jakarta.

Dalam masalah akidah, Buya adalah ulama dan teladan yang lurus. Beliau pernah menolak undangan Menteri Agama untuk menghadiri jamuan istana dalam rangka kedatangan Paus Johanes. Beberapa tokoh Muslim membujuk, Buya tak bergeming. Demikian juga saat menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya rela meletakkan jabatan hanya karena pemerintah tidak berkenan ketika lembaga yang dipimpinnya mengeluarkan fatwa haram mengikuti perayaan Natal.

            Pada akhirnya, semakin tampak ketinggian budi Buya Hamka. Presiden soekarno yang pernah memenjarakannya 2 tahun 4 bulan karena tuduhan perencanaan pembunuhan terhadap presiden, justru memberikan pesan terakhir untuk diimami sholat jenazahnya oleh seorang Buya Hamka. Mohamad Yamin, politikus Islam berbeda partai yang perrnah berbeda haluan dengan Buya mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara, meminta Buya hamka menemani akhir hayatnya menjemput maut hingga membawa jasadnya ke tanah Minang. Begitu pula Pramudya Ananta Toer yang pernah sangat frontal menyerang karyanya, hanya mau jika calon menantunya yang asalnya non-muslim, diislamkan oleh Buya Hamka.

No comments:

Post a Comment