Sebagai pendidik saya selalu menasehati
murid-murid saya agar jujur saat ujian. Saya benci jika menemukan murid saya
curang, menyontek/ngrepek, saling bertanya jawaban, ketika mengerjakan test
obyektif yang sifatnya individual dan closed book. Maka dalam kondisi lain
ketika posisi saya adalah peserta didik, saya akan konsisten untuk jujur dalam
ujian, tidak ngerepek, tidak menanya jawaban pada orang lain, juga untuk tidak
menconteki orang lain.
Namun tidak gampang ternyata. Dalam beberapa kesempatan seperti itu, saya
banyak diuji.
Dan mereka yang menguji konsistensi saya, dengan terang-terangan
minta saya conteki, terang-terangan ngerepek atau phone a friend di kanan kiri
saya, tidak lain rekan-rekan saya, para bapak/ibu/ pendidik yang memiliki tugas
mulia mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untungnya sejauh ini Allah memudahkan niat saya,
untuk tidak nyontek atau nyonteki orang saat test. Kekhawatiran dibilang pelit dan tidak setia
kawan, pun saya tepis jauh-jauh. Dalam kondisi selain sedang test saya dengan
tulus akan berbagi dan berkawan akrab dengan semua. Tapi saat test, no
way!!!
Ironis memang, tapi itulah yang terjadi di ujian
semester saya. Pengawas ujian sengaja mengijinkan, bahkan kadang menyarankan, buka
buku saja, agar dapat nilai A. Tapi menariknya, meski sudah buka buku
sekalipun, tak satupun teman2 yang curang ini yang tidak mengeluh kesulitan.
Belum lagi, mereka jadi menghabiskan waktu dan perlu konsentrasi tingkat
tinggi. Bagaimana tidak, tiap satu nomor harus searching jawaban dari buku
modul yang tebalnya ampun-ampunan. Iya kalo segera ketemu, kalo tidak?
Bisa-bisa 1 nomor butuh waktu 1 jam untuk menjawab benar. Belum lagi kalo
setelah ketemu bahasan yang tepat tapi yang ditanyakan tidak spesifik
dijelaskan, masih harus menalar juga. Jadi apa enaknya ngrepek kalo gitu??? :D
:D
Saya tidak ngrepek. Saya tidak curang. Saya tidak
bilang soal ujiannya mudah atau jawaban saya betul semua. Sebetulnya saya juga
kesulitan. Tapi saya puas mengerjakan dengan jujur. Saya tidak menghabiskan
banyak waktu mengerjakan karena saya mempercayakannya pada daya ingat dan nalar
saya, serta pakai hati untuk berdoa, agar soal-soal yang saya tak yakin
jawabannya itu, dibetulkan oleh Allah.
Sungguh saya heran dengan budaya menyontek di
negeri ini. Nggak guru nggak murid sama saja. kok nggak malu ya? Beberapa kali mengikuti diklat dengan
guru, itu pula yang terjadi saat pre test atau post test. Mbok ya salah gak
papa, gitu aja kok bingung. Apakah nilai jelek mengganggu harga diri mereka?
Lalu kenapa menyontek tidak dianggap merendahkan harga diri?
Saat 2 sesi itu berlangsung, hampir selalu saya
kabur mencari tempat strategis agar tidak ditanya jawaban ini itu. Di pelatihan
terakhir saya kemarin demikian juga. Sebelum post test ibu di sebelah saya
sudah menyombongkan posisi duduknya ke kawan-kawan lain karena yakin dapat
contekan dari saya. Pada saat beliau bragging ini-itu, pikiran saya justru lagi
berkelanan mencari bangku kosong di depan. Dan alhamdulillah ketemu bangku
kosong yang sesuai harapan. Begitu selesai post test dan saya harus mengambil
tas serta laptop saya di tempat semula, saya sampaikan “ maaf ya bu, saya tidak
bisa memberikan contekan. Saya tidak biasa contek-contekan” beliau ngeless “ ah
tadi itu Cuma bercanda kok. Nggak papa dik” sambil tertawa.
Saya jadi merasa aneh, saya tidak salah tapi untuk
sekedar unggah-ungguh saya harus minta maaf. Dan teman saya yang mau nyontek,
itu jelas perbuatan tidak benar, tapi dia malah tertawa. Benar-benar aneh...
0 comments:
Post a Comment