Thursday, 16 April 2015

Mujahid Kemedekaan Indonesia



Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa inti dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya adalah pergerakan para mujahid muslim Indonesia. Kita selama ini hanya dikenalkan pada istilah pahlawan nasional, atau sejarah perjuangan bangsa. Buku disekolah hanya memberitahukan nama mereka, dan bahwa mereka menentang penjajah Belanda. Tidak banyak informasi bagaimana lingkungan agama, sosial, dan budaya para pahlawan tersebut, dan apa prinsip yang melatarbelakangi kuatnya tekad mereka untuk membela negara, hingga nyawa pun siap menjadi taruhan.

Sebaliknya ketika kita belajar tentang penyebaran Islam di Indonesia, sejarah hanya membahas  kapan masuknya Islam dari tanah Arab. Begitu para pedagang gujarat dan orang-orang Persia, atau tokoh-tokoh yang memiliki nama serupa Timur Tengah telah disepakati kapan datangnya, pembahasan diakhiri. Tidak terpikirkan lagi oleh kita, setelah masuk ke Indonesia, siapa saja tokoh yang istiqomah menyebarkannya, dari berabad-abad lalu ketika negara-negara Eropa datang, hingga saat ini dimana Islam bisa menjadi agama bagi mayoritas penduduk.
Sejarah yang disuguhkan membuat pikiran kita membuat batas bahwa perjuangan kemerdekaan dan penyebaran Islam di Indonesia adalah 2 hal yang berbeda. Padahal, masuk akalkah jika ajaran Islam yang mulai menyebar di masyarakat pada abad 13, tidak bersinggungan sama sekali dengan kedatangan Portugis  pada awal abad 16, dilanjutkan penjajahan Spanyol dan Perancis, Belanda yang betah hingga 350 tahun, hingga Jepang serta sekutu? Mungkinkah kita membayangkan bahwa pada masa itu ulama Islam terus menerus berdakwah, mengadakan pengkajian Al Quran, akidah-akhlaq, fikih dan tarikh Islam sementara orang-orang tertentu yang berjulukan pahlawan ini sedang berperang mengusir penjajah? Banyak hal yang belum tersampaikan dari sejarah kemerdekaan negara kita. Bahwa kedatangan negara-negara Eropa ke tanah air disemangati semboyan Gold, Gospel and Glory, tidak semata untuk mengambil paksa sumber daya alam yang melimpah, tapi juga misi kristenisasi, dan melebarkan wilayah kekuasaan.
Sebagai seorang muslim, yang memiliki kewajiban menuntut ilmu, wajib hukumnya meng-upgrade pengetahuan kita. Siapa saja para mujahid pengusir penjajah? Inilah sebagian mereka:
1.    Tahun 1512, Kerajaan Demak dipimpin Adipati Yunus (biasanya disebut pati Unus), memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka, tapi gagal karena kalah persenjataan. Selanjutnya tahun 1521 mengerahkan armada yang lebih kuat, dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun beliau mati syahid dalam pertempuran tersebut. Gelar ”Pangeran sabrang lor” yang diberikan padanya berarti pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
2.    Tahun 1526, panglima Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan penjajah Portugis. Maka digantilah namanya menjadi Fathan Mubina (diambil dari QS al-Fath:1). Fathan Mubina diterjemahkan menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
3.    Tahun 1660, Raja kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin menolak persetujuan damai dengan VOC-Belanda. Sultan Hasanuddin sejak kecil mendapatkan pendidikan Islam yang baik. Maka sejak remaja ketika melihat dan mendengar kedzaliman, muncul rasa geram di hatinya. Ini yang membuatnya menjadi pemimpin yang pemberani, tegas dan merindukan mati syahid. Pada 1667, VOC terus melakukan serangan sehingga kerajaan Gowa terdesak. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya. Namun karena VOC menghianati perjanjian tersebut, Sultan Hasanuddin mengobarkan perlawanan.  VOC kewalahan menghadapi mujahidin Gowa sampai harus meminta bala bantuan armada perang Belanda untuk menggempur Sulawesi Selatan. Akhirnya benteng terkuat Gowa dikuasai Belanda pada 1669.
            Semenjak VOC bangkrut pada 1799 dan diambil alih oleh Belanda, pertempuran panjang melawan penjajah tetap terjadi, di antaranya perang Paderi di Sumatra Barat tahun 1803-1837 yang dipimpin Imam Bonjol, Perang Diponegoro di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 1825-1830, perang banjar tahun 1859-1862 yang dipimpin Pangeran antasari di Kalimantan, dan perang Aceh tahun 1873 sampai 1904 dipimpin oleh pejuang-pejuang Islam yang memiliki semboyan kuat jihad fii sabilillah.
4.    Tuanku Imam Bonjol” adalah gelar yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama aslinya Muhammad Shahab. Julukan lainnya adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Imam Bonjol dan kaum Paderi menginginkan pelaksanaan ajaran Islam sesuai al Qur’an dan sunnah yang pada saat itu telah banyak diselewengkan kaum adat. Belanda mengadu domba pertikaian kaum adat dan kaum paderi. Kaum adat menyerahkan wilayahnya pada Belanda sebagai kompensasi untuk membantu melawan kaum Paderi. Beberapa perundingan dilaksanakan namun dikhianati sendiri oleh Belanda. Pada 1833, perang berubah menjadi perang antara kaum Adat  dan kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, karena pihak Adat telah mau mengikuti Syari’at Islam dengan izin Allah.
5.    Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Raja Mataram Hamengku Buwono III. Namun karena kondisi keraton yang penuh intrik Belanda dan tidak kondusif bagi pendidikan akhlaknya, sejak kecil ibunya menitipkan pengasuhannya pada neneknya, dalam lingkungan pesantren. Pangeran Diponegoro menolak gelar putra mahkota dan menyerahkannya kepada adiknya karena tidak mau berada dalam intervensi Belanda dan menjadi bagian dari orang-orang yang murtad. Perang Diponegoro disebabkan semakin menyempitnya wilayah kraton akibat diambil alih Belanda, pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, ketidakadilan di masyarakat Jawa,  praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, dan  kerja paksa untuk kepentingan penjajah Belanda. Dalam perlawanannya ini, Pangeran Diponegoro banyak dibantu santri dan ulama. Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya.
6.    Pangeran Antasari adalah sultan Banjar. Seluruh rakyat, pejuang, alim ulama dan bangsawan Banjar dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi. Perang Banjar merupakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, akibat ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan. Belanda juga memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Belanda sangat berhasrat menguasai daerah Kalimantan Selatan karena daerah ini ditemukan pertambangan batubara. Pangeran antasari memimpin perlawanan terhadap Belanda dan wafat di tengah-tengah pasukannya pada tanggal 11 Oktober 1862 tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda.
7.    Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Perang Aceh Kedua (1874-1880), Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain. Perang ketiga (1881-1896), dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. pasukan Aceh di bawah Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1899 Teuku Umar gugur, tetapi Cut Nyak Dhien istrinya tampil menjadi komandan perang gerilya. Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
          Awal abad 20 menjadi babak baru perjuangan kemerdekaan. Setelah perlawanan kedaerahan yang berakhir dengan syahidnya pejuang muslim, Haji samanhudi mulai memikirkan perlawanan melalui organisasi dengan menghimpun para pedagang Islam. Sarekat Dagang Islam (SDI) berdiri 3 tahun sebelum Budi Utomo (BU) berdiri.
8.    Haji Samanhudi mendirikan SDI di Surakarta. Tujuannya adalah mengumpulkan para pedagang pribumi muslim untuk mengupayakan agar pengusaha pribumi tidak kalah dengan para pedagang China yang saat itu memiliki hak lebih luas dan status lebih tinggi. Di sisi lain, Kolonial Belanda yang berkuasa pada saat itu selalu membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan pedagang pribumi muslim. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah ancaman serius yang harus segera dimusnahkan. Kondisi yang serba sulit ini justru menumbuhkan kesadaran bahwa pedagang pribumi harus mengumpulkan kekuatan demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi.
9.    HOS Tjokroaminoto pada tahun 1912 menggagas SDI untuk mengubah nama dan bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan SYARIKAT ISLAM karena keadaan politik dan sosial pada masa tersebut, dan mengubah yuridiksi SDI yang dulunya hanya mencakupi permasalahan ekonomi dan sosial. kearah politik dan Agama untuk menyumbangkan semangat perjuangan Islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Sejak Budi Utomo beralih tangan dari golongan muda ke golongan tua pada Kongresnya yang  pertama tanggal 5 oktober 1908, telah lahir rasa ketidakpuasan di kalangan generasi muda. Ketidakpuasan itu didasarkan pada gerak langkah Budi Utomo yang cenderung konservatif dan kurang menampung aspirasi pemuda. Atas dasar itu para pemuda ingin memiliki perkumpulannya sendiri, tempat para pemuda dapat dididik secara pemuda untuk memenuhi kewajibannya di kelak kemudian hari. Pada 7 Maret 1915 sejumlah pemuda berkumpul di Gedung Budi Utomo Gedung Stovia Jakarta, mendirikan Tri Koro Dharmo yang ditujukan sebagai tempat latihan bagi calon-calon pemimpin bangsa atas dasar kecintaan pada tanah airnya. Namun karena lingkupnya yang belum bisa bersifat nasional, Trikoro Dharmo diganti dengan Jong Java. Setelah Jong Java lahir, menyusullah organisasi kedaerahan yang lain; Jong sumatra, Jong Celebes, Jong paguyuban Pasundan dan seterusnya. Merespon berdirinya organisasi daerah maka lahirlah pula Jong Islamieten Bond, organisasi pemuda Islam secara nasional.
10.    Jong Islamieten Bond adalah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Tujuan pertama pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan sebelumnya masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain. Adapun Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam didirikan kemudian tahun 1930. H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem,  S.M. Kartosoewirjo dan Kasman Singodimedjo adalah tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh-tokoh di SIS. Kedua organisasi ini dapat menghambat gagasan sekularisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Snouck Hurgronje karena mereka mempelajari Islam secara kritis sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai pejuang kemerdekaan dapat terbangun dengan baik.
Tokoh-tokoh muslim muda Indonesia, tak kalah kiprahnya sampai pada akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Bahkan pada pemerintahan orde lama kita dapat melihat kiprah Sutan sjahrir sebagai perdana menteri, Muhammad Roem sebagai diplomat dalam perjanjian Roem-Royen yang pada akhirnya mengantarkan pada perundingan Linggarjati dan menuai pengakuan wilayah indonesia di mata dunia. Bung Tomo, juga adalah pemimpin muslim yang dalam pertempuran melawan NICA di Surabaya, tak henti menyerukan takbir.
Nasionalisme bukan hanya milik organisasi yang mengatasnamakan kebangsaan. HOS Tjokroaminoto dalam Kongres nasional Indistje partij pernah menekankan bahwa melalui Islamlah nasionalisme Islam dapat tumbuh subur. Demikian juga Mohammad Natsir menegaskan bahwa sebelum dipergunakan istilah ‘nasionalisme Indonesia” ketika berbagai organisasi masih bersifat kedaerahan, pergerakan Islam sudah jauh lebih dulu mengikuti ikatan kebangsaan.(ref: berbagai sumber)

0 comments:

Post a Comment