Mungkin
banyak yang belum tahu, bahwa inti dari sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, sesungguhnya adalah pergerakan para mujahid muslim Indonesia. Kita
selama ini hanya dikenalkan pada istilah pahlawan nasional, atau sejarah
perjuangan bangsa. Buku disekolah hanya memberitahukan nama mereka, dan bahwa
mereka menentang penjajah Belanda. Tidak banyak informasi bagaimana lingkungan
agama, sosial, dan budaya para pahlawan tersebut, dan apa prinsip yang
melatarbelakangi kuatnya tekad mereka untuk membela negara, hingga nyawa pun
siap menjadi taruhan.
Sebaliknya
ketika kita belajar tentang penyebaran Islam di Indonesia, sejarah hanya
membahas kapan masuknya Islam dari tanah
Arab. Begitu para pedagang gujarat dan orang-orang Persia, atau tokoh-tokoh
yang memiliki nama serupa Timur Tengah telah disepakati kapan datangnya,
pembahasan diakhiri. Tidak terpikirkan lagi oleh kita, setelah masuk ke
Indonesia, siapa saja tokoh yang istiqomah menyebarkannya, dari berabad-abad
lalu ketika negara-negara Eropa datang, hingga saat ini dimana Islam bisa
menjadi agama bagi mayoritas penduduk.
Sejarah yang
disuguhkan membuat pikiran kita membuat batas bahwa perjuangan kemerdekaan dan
penyebaran Islam di Indonesia adalah 2 hal yang berbeda. Padahal, masuk akalkah
jika ajaran Islam yang mulai menyebar di masyarakat pada abad 13, tidak
bersinggungan sama sekali dengan kedatangan Portugis pada awal abad 16, dilanjutkan penjajahan
Spanyol dan Perancis, Belanda yang betah hingga 350 tahun, hingga Jepang serta
sekutu? Mungkinkah kita membayangkan bahwa pada masa itu ulama Islam terus
menerus berdakwah, mengadakan pengkajian Al Quran, akidah-akhlaq, fikih dan
tarikh Islam sementara orang-orang tertentu yang berjulukan pahlawan ini sedang
berperang mengusir penjajah? Banyak hal yang belum tersampaikan dari sejarah
kemerdekaan negara kita. Bahwa kedatangan negara-negara Eropa ke tanah air
disemangati semboyan Gold, Gospel and
Glory, tidak semata untuk mengambil paksa sumber daya alam yang melimpah,
tapi juga misi kristenisasi, dan melebarkan wilayah kekuasaan.
Sebagai
seorang muslim, yang memiliki kewajiban menuntut ilmu, wajib hukumnya
meng-upgrade pengetahuan kita. Siapa saja para mujahid pengusir penjajah?
Inilah sebagian mereka:
1. Tahun 1512, Kerajaan Demak dipimpin Adipati Yunus (biasanya
disebut pati Unus), memimpin
sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka,
tapi gagal karena kalah persenjataan.
Selanjutnya tahun
1521 mengerahkan armada yang lebih kuat, dan
dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang
sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara
demi mengamankan jalur niaga dan dakwah dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun beliau
mati syahid dalam
pertempuran tersebut. Gelar ”Pangeran
sabrang lor” yang diberikan padanya berarti pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah
utara.
2. Tahun
1526, panglima
Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) memimpin pasukan Demak
menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung
dan merebutnya dari tangan penjajah Portugis. Maka digantilah namanya menjadi Fathan Mubina (diambil
dari QS al-Fath:1). Fathan Mubina diterjemahkan
menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M,
yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
3. Tahun
1660, Raja kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin menolak persetujuan damai dengan
VOC-Belanda. Sultan Hasanuddin sejak kecil mendapatkan pendidikan Islam yang baik. Maka sejak remaja ketika melihat dan mendengar kedzaliman,
muncul rasa geram di
hatinya. Ini yang membuatnya
menjadi pemimpin yang pemberani,
tegas dan merindukan mati syahid. Pada 1667, VOC terus melakukan serangan sehingga kerajaan
Gowa terdesak. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya.
Namun karena VOC menghianati perjanjian tersebut, Sultan Hasanuddin mengobarkan
perlawanan. VOC kewalahan menghadapi
mujahidin Gowa sampai harus meminta bala bantuan armada perang Belanda untuk
menggempur Sulawesi Selatan. Akhirnya benteng terkuat Gowa dikuasai Belanda
pada 1669.
Semenjak VOC bangkrut pada 1799 dan
diambil alih oleh Belanda, pertempuran panjang melawan penjajah tetap terjadi,
di antaranya perang Paderi di Sumatra Barat tahun 1803-1837 yang dipimpin Imam
Bonjol, Perang Diponegoro di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 1825-1830, perang
banjar tahun 1859-1862 yang dipimpin Pangeran antasari di Kalimantan, dan
perang Aceh tahun 1873 sampai 1904 dipimpin oleh pejuang-pejuang Islam yang
memiliki semboyan kuat jihad fii
sabilillah.
4.
“Tuanku Imam Bonjol” adalah gelar yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama aslinya Muhammad
Shahab. Julukan lainnya adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Imam Bonjol dan
kaum Paderi menginginkan pelaksanaan ajaran Islam sesuai al Qur’an dan sunnah
yang pada saat itu telah banyak diselewengkan kaum adat. Belanda mengadu domba
pertikaian kaum adat dan kaum paderi. Kaum adat menyerahkan wilayahnya pada
Belanda sebagai kompensasi untuk membantu melawan kaum Paderi. Beberapa
perundingan dilaksanakan namun dikhianati sendiri oleh Belanda. Pada 1833, perang berubah menjadi perang antara
kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, karena
pihak Adat telah mau mengikuti Syari’at Islam dengan izin Allah.
5.
Pangeran
Diponegoro adalah putra sulung Raja Mataram Hamengku Buwono III. Namun karena
kondisi keraton yang penuh intrik Belanda dan tidak kondusif bagi pendidikan
akhlaknya, sejak kecil ibunya menitipkan pengasuhannya pada neneknya, dalam
lingkungan pesantren. Pangeran Diponegoro menolak gelar putra mahkota dan
menyerahkannya kepada adiknya karena tidak mau berada dalam intervensi Belanda
dan menjadi bagian dari orang-orang yang murtad. Perang Diponegoro disebabkan semakin menyempitnya wilayah kraton akibat diambil alih
Belanda, pemberian
kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, ketidakadilan di masyarakat Jawa, praktek
sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan
pengaruh Belanda makin membesar, dan kerja
paksa untuk kepentingan
penjajah Belanda. Dalam perlawanannya ini, Pangeran Diponegoro banyak
dibantu santri dan ulama. Perang
Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial
bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang
Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang
20 juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun
pengikut Diponegoro 200.000 orang. Ini
menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat
terhadapnya.
6. Pangeran
Antasari adalah sultan Banjar. Seluruh
rakyat, pejuang, alim ulama dan bangsawan Banjar dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari
menjadi "Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan
pemuka agama tertinggi. Perang Banjar merupakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang
terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah provinsi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, akibat ikut campurnya Belanda dalam
urusan kerajaan.
Belanda juga memperoleh
hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Belanda sangat berhasrat menguasai daerah Kalimantan
Selatan karena daerah ini ditemukan pertambangan batubara.
Pangeran antasari memimpin perlawanan terhadap Belanda dan wafat di tengah-tengah
pasukannya pada tanggal 11 Oktober 1862 tanpa
pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda.
7. Perang
Aceh adalah perang
Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904.
Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan
perang gerilya terus berlanjut. Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Perang Aceh Kedua (1874-1880), Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad
Dawood yang
dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah
perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan,
meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain. Perang
ketiga (1881-1896), dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Sistem perang
gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. pasukan Aceh di bawah Teuku Umar
dan Panglima Polim. Pada
tahun 1899 Teuku
Umar gugur, tetapi Cut
Nyak Dhien istrinya
tampil menjadi komandan perang gerilya. Perang
keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Awal abad 20 menjadi babak baru
perjuangan kemerdekaan. Setelah perlawanan kedaerahan yang berakhir dengan
syahidnya pejuang muslim, Haji samanhudi mulai memikirkan perlawanan melalui
organisasi dengan menghimpun para pedagang Islam. Sarekat Dagang Islam (SDI)
berdiri 3 tahun sebelum Budi Utomo (BU) berdiri.
8. Haji
Samanhudi mendirikan SDI
di Surakarta. Tujuannya adalah mengumpulkan para pedagang pribumi muslim untuk mengupayakan agar
pengusaha pribumi tidak kalah dengan para pedagang China yang saat itu
memiliki hak lebih luas dan status lebih tinggi. Di sisi lain, Kolonial Belanda
yang berkuasa pada saat itu selalu membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan
pedagang pribumi muslim. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah ancaman serius
yang harus segera dimusnahkan. Kondisi
yang serba sulit ini justru
menumbuhkan kesadaran bahwa pedagang
pribumi harus mengumpulkan kekuatan demi tegaknya keadilan di bumi
pertiwi.
9.
HOS Tjokroaminoto pada tahun 1912 menggagas SDI untuk
mengubah nama dan bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan SYARIKAT ISLAM karena
keadaan politik
dan sosial
pada masa tersebut, dan mengubah yuridiksi SDI yang
dulunya hanya mencakupi permasalahan ekonomi
dan sosial.
kearah politik
dan Agama
untuk menyumbangkan semangat perjuangan Islam dalam
semangat juang rakyat terhadap kolonialisme
dan imperialisme.
Sejak Budi Utomo beralih
tangan dari golongan muda ke golongan tua pada Kongresnya yang pertama tanggal 5 oktober 1908, telah lahir
rasa ketidakpuasan di kalangan generasi muda. Ketidakpuasan itu didasarkan pada
gerak langkah Budi Utomo yang cenderung konservatif dan kurang menampung aspirasi
pemuda. Atas dasar itu para pemuda ingin memiliki perkumpulannya sendiri,
tempat para pemuda dapat dididik secara pemuda untuk memenuhi kewajibannya di
kelak kemudian hari. Pada 7 Maret 1915 sejumlah pemuda berkumpul di Gedung Budi Utomo
Gedung Stovia Jakarta,
mendirikan Tri Koro Dharmo yang ditujukan sebagai tempat latihan
bagi calon-calon pemimpin bangsa atas dasar kecintaan pada tanah airnya. Namun karena lingkupnya yang
belum bisa bersifat nasional, Trikoro Dharmo diganti
dengan Jong Java. Setelah
Jong Java lahir, menyusullah organisasi kedaerahan yang lain; Jong sumatra,
Jong Celebes, Jong paguyuban Pasundan dan seterusnya. Merespon berdirinya
organisasi daerah maka lahirlah pula Jong Islamieten Bond, organisasi pemuda
Islam secara nasional.
10. Jong
Islamieten Bond adalah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta pada
tanggal 1 Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Tujuan pertama
pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi para
pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para pemuda
terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan sebelumnya
masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong Java (7 Maret 1915),
Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain.
Adapun Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam didirikan kemudian
tahun 1930. H. Agus Salim, Mohammad
Natsir, Mohammad Roem, S.M. Kartosoewirjo dan Kasman Singodimedjo adalah
tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito adalah
tokoh-tokoh di SIS. Kedua organisasi ini dapat menghambat gagasan sekularisasi
yang dicanangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Snouck Hurgronje karena mereka mempelajari Islam secara kritis
sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai pejuang kemerdekaan
dapat terbangun dengan baik.
Tokoh-tokoh muslim muda Indonesia, tak kalah kiprahnya sampai pada akhirnya
Indonesia meraih kemerdekaan. Bahkan pada pemerintahan orde lama kita dapat
melihat kiprah Sutan sjahrir sebagai perdana menteri, Muhammad Roem sebagai
diplomat dalam perjanjian Roem-Royen yang pada akhirnya mengantarkan pada
perundingan Linggarjati dan menuai pengakuan wilayah indonesia di mata dunia.
Bung Tomo, juga adalah pemimpin muslim yang dalam pertempuran melawan NICA di
Surabaya, tak henti menyerukan takbir.
Nasionalisme bukan hanya milik organisasi yang mengatasnamakan kebangsaan. HOS
Tjokroaminoto dalam Kongres nasional Indistje partij pernah menekankan bahwa
melalui Islamlah nasionalisme Islam dapat tumbuh subur. Demikian juga Mohammad
Natsir menegaskan bahwa sebelum dipergunakan istilah ‘nasionalisme Indonesia”
ketika berbagai organisasi masih bersifat kedaerahan, pergerakan Islam sudah
jauh lebih dulu mengikuti ikatan kebangsaan.(ref: berbagai sumber)
0 comments:
Post a Comment