Sunday, 24 January 2016

Narsis

Saya kenal kata narsis, tepatnya narcissus, kali pertama adalah dari beberapa paragraf dalam novel Budi Darma, Olenka. Di halaman 224 beliau tuliskan “Memang untuk dapat melihat diri kita sendiri dengan benar kita tidak selayaknya menjadi narkisus. Untuk menjadi lebih agung, kita tidak perlu menonton diri kita sebagai jagoan dalam novel-novel picisan. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yunani Kuno, kita memerlukan catharsis, yaitu rasa mual terhadap diri kita sendiri…


Belakangan saya baca, yang memulai membahas narsis adalah Sigmund Freud, tahun 1914. Narsis adalah sebutan untuk bunga yang muncul karena ulah Narkisus, tokoh dalam mitos Yunani. Narkisus dikutuk hingga dia selalu mengagumi bayangannya sendiri yang tercermin dari air kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang disebut bunga narsis, semacam bunga bakung.

Dalam kisah yang lain, Narcissus diceritakan adalah pemuda yang sangat tampan sehingga berlebihan mengagumi dirinya dan sering meremehkan orang lain. Narcissus menolak cinta Echo, hingga Echo patah hati dan mati. Karena kesombongan Narcissus, Dewa Zeus mengutuknya tidak akan mengalami cinta seumur hidup. Suatu hari Narcissus haus, lalu mendatangi kolam air yang jernih. Ketika hendak mengambil air, ia melihat bayangan dirinya di permukaan air kolam dan akhirnya mencintai bayangannya sendiri. Karena tidak mendapatkan respon dari bayangan yang dicintainya, Narcissus akhirnya mati di samping kolam.

Narcissism atau narsisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narcissist. Pada dasarnya potensi narsisme ada pada setiap orang. Dalam dosis yang disarankan, ternyata sifat ini ada perlunya, untuk membuat diri kita tidak terbayang-bayangi oleh prestasi dan kehebatan orang lain. Mencintai diri sendiri akan jadi menyehatkan pikiran jika membuat kita memiliki keyakinan kuat agar tak mati-matian mengikuti standar hidup orang lain hanya sekedar agar diterima atau diakui.

Narsisme adalah masalah psikologis. Namun pengidap sindrom ini seringkali tidak merasa dan tidak mau mengakui dirinya menyandang penyakit narsisme. Karena itu cukup susah untuk mengatasi orang narsis. Penyebab narsis pun, belum dapat dipastikan saking kompleksnya. Bisa jadi karena tumbuh kembang yang tidak tuntas di masa kecil, pengaruh lingkungan social yang tidak baik, atau karena gangguan syaraf.

Baiknya kita mengidentifikasi diri kita sendiri sebelum menuding orang lain narsis. Adakah salah satunya atau beberapa ciri di bawah ini mirip dengan kita? Jika ada, mari kita berbenah sebelum orang lain terganggu oleh sikap kita. Berikut adalah ciri-ciri narsis menurut Psikolog Roslina Verauli, M.Psi. 1) Orang narsis merasa lebih penting dan besar dibanding orang lain. Contohnya, dia merasa paling hebat dalam hal prestasi, bakat, karier dll. 2) Punya fantasi untuk mencapai sukses dan kekuasaan yang sangat tinggi. Walaupun hal itu mustahil untuk bisa dicapai. 3) Merasa dirinya begitu unik dan beda dengan yang lainnya. Dia akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng dibanding orang lain. 4) Orang narsis selalu merasa butuh pengakuan yang berlebihan dari orang lain. 5) Mereka yang narsis selalu berharap yang tak masuk akal untuk diperlakukan oleh orang lain. Orang yang narsis selalu ingin diperlakukan istimewa, meski dirinya sebenarnya tak istimewa. 6) Narsis cenderung manipulatif dan selalu mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan dirinya. 7) Tidak bisa berempati pada orang lain. Misalnya saja, bila ada temannya yang terkena musibah, orang narsis tak akan peduli. Dan 8) Selalu arogan.

Anehnya, beberapa tahun belakangan kata narsis popular. Orang malah sering menyebut dirinya narsis di media social sambil memajang foto selfie maupun wefie. Mungkin agar terlihat peka perkembangan jaman. Padahal,  apa tidak malah menunjukkan identitasnya sebagai follower atau pembebek?

Narsisme secara statistic ditemukan terus meningkat sejak tahun 1980-an. Dan media social menjadi pilihan yang strategis bagi pengidap sindrom narsisme untuk memamerkan diri. Jika kita adalah juga aktivis media social, sebaiknya hati-hati agar tak tertular wabah narsisme. Karena narsisme saat ini sudah mengatur banyak standar untuk penggunaan media sosial sehari-hari. Memerangkap  penggunanya dalam kontes popularitas dan kecemasan pengalaman, tidak sedikit orang jadi kecewa sampai mengalami depresi karena tidak mendapat banyak “like” di Facebook dan cuit di Twitter.


Di tengah pergeseran nilai semacam ini, kita yang harus lebih kokoh menjaga perspektif agar narsisme tidak mengatur standar kita. Kita mungkin tidak memiliki ribuan followers di Twitter, atau ribuan friends di facebook, dan tidak banyak yang memberi like atau comment, anggap saja itu hal yang wajar. Tak perlu kita berkecil hati karenaya. 

Eits, tapi beda lagi ceritanya jika kita memang memiliki niat serius untuk meraup dolar dari media sosial. Followers, audience, atau apa semua itu namanya, bukan hanya penting, malah prasyarat. Tapi toh tidak harus dengan cara merengek mencari perhatian untuk mendapatkan follower khan? Sepanjang niatnya tidak semata untuk sekedar heboh show off, saya rasa ini di luar kasus narsisme. By the way, hanya sebuah point of view dari seorang awam, bisa jadi opini anda berbeda? 

2 comments:

  1. Wah sy br th sjrh narsis. Trmksh mba, bertmbh lg ilmu sy. Insyaallah (semoga) sy bkn trmsk di dlmnya aamiin

    ReplyDelete