Saya
kenal kata narsis, tepatnya narcissus, kali pertama adalah dari beberapa
paragraf dalam novel Budi Darma, Olenka. Di halaman 224 beliau tuliskan “Memang untuk dapat melihat diri kita
sendiri dengan benar kita tidak selayaknya menjadi narkisus. Untuk menjadi
lebih agung, kita tidak perlu menonton diri kita sebagai jagoan dalam
novel-novel picisan. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yunani Kuno, kita
memerlukan catharsis, yaitu rasa mual terhadap diri kita sendiri…”
Belakangan
saya baca, yang memulai membahas narsis adalah Sigmund Freud, tahun 1914.
Narsis adalah sebutan untuk bunga yang muncul karena ulah Narkisus, tokoh dalam
mitos Yunani. Narkisus dikutuk hingga dia selalu mengagumi bayangannya sendiri
yang tercermin dari air kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga
ia tenggelam dan tumbuh bunga yang disebut bunga narsis, semacam bunga bakung.
Dalam
kisah yang lain, Narcissus diceritakan adalah pemuda yang sangat tampan sehingga
berlebihan mengagumi dirinya dan sering meremehkan orang lain. Narcissus
menolak cinta Echo, hingga Echo patah hati dan mati. Karena kesombongan
Narcissus, Dewa Zeus mengutuknya tidak akan mengalami cinta seumur hidup. Suatu
hari Narcissus haus, lalu mendatangi kolam air yang jernih. Ketika hendak
mengambil air, ia melihat bayangan dirinya di permukaan air kolam dan akhirnya
mencintai bayangannya sendiri. Karena tidak mendapatkan respon dari bayangan
yang dicintainya, Narcissus akhirnya mati di samping kolam.
Narcissism atau narsisme adalah perasaan cinta
terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narcissist.
Pada dasarnya potensi narsisme ada
pada setiap orang. Dalam dosis yang disarankan, ternyata sifat ini ada
perlunya, untuk membuat diri kita tidak terbayang-bayangi oleh prestasi dan
kehebatan orang lain. Mencintai diri sendiri akan jadi menyehatkan pikiran jika
membuat kita memiliki keyakinan kuat agar tak mati-matian mengikuti standar
hidup orang lain hanya sekedar agar diterima atau diakui.
Narsisme
adalah masalah psikologis. Namun pengidap sindrom ini seringkali tidak merasa
dan tidak mau mengakui dirinya menyandang penyakit narsisme. Karena itu cukup
susah untuk mengatasi orang narsis. Penyebab narsis pun, belum dapat dipastikan
saking kompleksnya. Bisa jadi karena tumbuh kembang yang tidak tuntas di masa
kecil, pengaruh lingkungan social yang tidak baik, atau karena gangguan syaraf.
Baiknya kita
mengidentifikasi diri kita sendiri sebelum menuding orang lain narsis. Adakah
salah satunya atau beberapa ciri di bawah ini mirip dengan kita? Jika ada, mari
kita berbenah sebelum orang lain terganggu oleh sikap kita. Berikut adalah
ciri-ciri narsis menurut Psikolog Roslina Verauli, M.Psi. 1) Orang narsis
merasa lebih penting dan besar dibanding orang lain. Contohnya, dia merasa
paling hebat dalam hal prestasi, bakat, karier dll. 2) Punya fantasi untuk
mencapai sukses dan kekuasaan yang sangat tinggi. Walaupun hal itu mustahil
untuk bisa dicapai. 3) Merasa dirinya begitu unik dan beda dengan yang
lainnya. Dia akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng
dibanding orang lain. 4) Orang narsis selalu merasa butuh pengakuan yang
berlebihan dari orang lain. 5) Mereka yang narsis selalu berharap yang tak
masuk akal untuk diperlakukan oleh orang lain. Orang yang narsis selalu ingin
diperlakukan istimewa, meski dirinya sebenarnya tak istimewa. 6) Narsis
cenderung manipulatif dan selalu mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan
dirinya. 7) Tidak bisa berempati pada orang lain. Misalnya saja, bila ada
temannya yang terkena musibah, orang narsis tak akan peduli. Dan 8) Selalu
arogan.
Anehnya,
beberapa tahun belakangan kata narsis popular. Orang malah sering menyebut dirinya narsis di media social sambil memajang foto selfie maupun wefie. Mungkin agar terlihat peka perkembangan jaman. Padahal, apa tidak malah menunjukkan identitasnya sebagai follower atau pembebek?
Narsisme
secara statistic ditemukan terus meningkat sejak tahun 1980-an. Dan media
social menjadi pilihan yang strategis bagi pengidap sindrom narsisme untuk
memamerkan diri. Jika kita adalah juga aktivis media social, sebaiknya
hati-hati agar tak tertular wabah narsisme. Karena narsisme saat ini sudah
mengatur banyak standar untuk penggunaan media sosial sehari-hari. Memerangkap penggunanya dalam kontes popularitas dan
kecemasan pengalaman, tidak sedikit orang jadi kecewa sampai mengalami depresi
karena tidak mendapat banyak “like” di Facebook dan cuit di Twitter.
Di tengah
pergeseran nilai semacam ini, kita yang harus lebih kokoh menjaga perspektif
agar narsisme tidak mengatur standar kita. Kita mungkin tidak memiliki ribuan followers di Twitter, atau ribuan friends di facebook, dan tidak banyak yang
memberi like atau comment, anggap saja itu hal yang wajar.
Tak perlu kita berkecil hati karenaya.
Eits, tapi beda lagi ceritanya jika kita memang memiliki niat serius untuk meraup dolar dari media sosial. Followers, audience, atau apa semua itu namanya, bukan hanya penting, malah prasyarat. Tapi toh tidak harus dengan cara merengek mencari perhatian untuk mendapatkan follower khan? Sepanjang niatnya tidak semata untuk sekedar heboh show off, saya rasa ini di luar kasus narsisme. By the way, hanya sebuah point of view dari seorang awam, bisa jadi opini anda berbeda?
Wah sy br th sjrh narsis. Trmksh mba, bertmbh lg ilmu sy. Insyaallah (semoga) sy bkn trmsk di dlmnya aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah..smuga manfaat :)
Delete