Friday 4 May 2018

Gagal Paham Dilan: Novel vs Film



“Jangan Rindu! Berat, biar aku saja!”


Mendadak istilah itu ngetrend seiring melejitnya tiket penjualan film Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990. Itu kalimat apa sih? Dilan? Siapa itu? Milea? Milebus? Migoleng? Masa nggak tau? ketahuan kalau belum nonton! Saya dong... sama! (ahahahaha).



Banyak yang menggibah Pidi Baiq saking laris manisnya novel ini. Pak Hernowo salah satu komisaris Mizan pernah membocorkan, per periode pembayaran royalti penulis novel ini mencapai angka milyaran. Wow!!!


Di komunitas yang lain, kawan penulis yang terhitung senior menghebohkan diksi dan gaya menulisnya yang aneh bin nyeleneh. Sampai titik itu, saya mulai penasaran. Latar kesuksesan roman jaman orba ini berarti bukan sekedar urusan cinta-cintaan favorit dedek-dedek jaman now. Penulisnya adalah man with quality, berarti?


Eh lha, belum juga baca, filmnya sudah nongol dan kondang ke pelosok nusantara. Mupeng nonton? tidak tidak! Baca dulu! Wajib baca dulu!


Eh takdirnya, belum kesampaian baca bukunya (Maaf Dilan, kamu belum lebih penting dari buku sumber tugas akhirku), saya malah terpaksa nonton film ini di Belanda. Malam-malam datang dari Leiden, teman yang saya tumpangi di Delft lagi khusyuk mantengin dia. Ya sudah, gabung.


Nah karena terlanjur, dan nggak ngeh-ngeh banget sama ceritanya selain kebodoran dedek ganteng berwajah Iqbaal Ramadhan, saya terpaksa harus cari tahu sebenarnya Pidi Baiq nulis apa sih?


Ini gak tau emang cuma saya yang lola or gimana ya? yang jelas sih, setelah khataman novelnya saya gregetan menulis hal-hal yang bagi saya potensial bikin gagal paham.


Pertama, Dilan nggak secakep Iqbaal, seperti Gie nggak secakep Nicholas Saputra. (Iyeee bilang aja biar filmnya laris. Lagian aktingnya mantep, tau! Iya, tapi eman bangeet gak sih?)


Dilan di novel itu innernya lebih cakep dari outernya. Itungannya, dia ditotal keren karena pedenya, mandirinya, cerdasnya, cerdiknya, kutubukunya, prinsipnya yang kuat dan idealis. Nah kalo yang main kiyut dan udah femes dari kemaren-kemaren, kebaca nggak sih inner-handsome nya si Dedek Keadilan-Sosial (saya curiga ini nama panjangnya) ini?


Kedua, kenapa Dilan meradang saat Pak Guru Suripto menggeret kerah bajunya? Guru itu digugu dan ditiru, katanya. Karena Guru BP itu kasar menariknya, Dilan membalas bahkan menjotosnya berkali-kali. Masuk akal nggak alasan ini? Saya sih big No!!! Dan lebih big No lagi ketika film murid-yang-menggasak-gurunya ini sempat diagendakan jadi tontonan nusantara oleh kementerian negara.


Tapi wait, tau nggak sih kalau sebenarnya dia punya alasan lebih? Rasa muak Dilan dikarenakan pernah ada laporan dari kawan-kawan (yang selalu dipercayanya) bahwa Bapak ini melakukan pelecehan kepada seorang siswi. Nah kalau begini jadi logis kan?


Ketiga dan paling utama, sampai tuntas baca Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea: Suara dari Dilan, saya seriously nggak ngeh dan masih bertanya-tanya: “kisah ini maksud dan tujuannya apa yak?” Sekedar hiburan, mungkin? Soal ini kisah nyata betulan atau fiktif, itu suka-suka penulisnya. Tapi apa perlunya seorang perempuan yang mengaku telah bahagia dengan suami dan anak-anaknya bernostalgia tentang mantan sedemikian rupa? Apa perasaan suami dan anak-anaknya akan baik-baik saja membacanya?


Sungguh, baik via novel ataupun film, saya belum menangkap ajaran apa yang ingin Yth. Penulis serukan melalui kisah dua sejoli ini. Kecuali jika, kecuali jika (saya husnuzon bahwa) Bapak Pidi Baiq yang lucu dan menggemaskan ini nantinya menulis Dia adalah Dilanku tahun 2018: isinya kira-kira tentang suami Milea yang lagi perjalanan dines tiba-tiba nabrak kucing sampe mati (pas kucingnya lagi BAB di dalam sumur), isteri Dilan diam-diam mengidap sakit panu stadium akhir. Dilan si jago sepik beraksi kembali dan Milea yang lagi puber kedua klepek-klepek (lagi) dibuatnya. Endingnya cinta jadul keduanya menyepring kembali.


Nah kalau begini, jelas kan apa faedahnya? Bahwa muda-mudi tak perlu bersedih dulu ketika cintanya tak langsung bersatu. Tak perlu jaran goyang apalagi kuda terbang, karena entah 5, 9, atau 27 tahun kemudian, jodoh tetap akan bertamu. Bertamu ke hadapan penghulu.


Begitu. Ah entahlah... Menurut Anda bagaimana?



3 comments:

  1. Hahaha jadi lucu ya, tapi memang benar eh wkwk

    ReplyDelete
  2. Hhee... sepertinya... sepertinya mak hiday... ahh sudahlah

    ReplyDelete
  3. Saya kuper, belum baca dan belum nonton, tapi sudah baca coretan emak2 inih..

    ReplyDelete