Thursday 23 April 2015

Malaikat di Tengah Hutan



Pengalaman ini, tidak akan begitu saja hilang dari ingatan saya. Meski sudah lama sekali terjadi, tepatnya saat masih duduk di bangku SMA. Di sekolah saya, mengadakan bhakti social di penghujung masa sekolah adalah program warisan kakak kelas yang dari tahun ke tahun selalu terlaksana dengan sukses. Sehingga saya dan teman-teman seangkatan mau tidak mau  merasa wajib melaksanakan bhaksos kami lebih baik dari sebelumnya. Tentu saja bukan bhakti sosial biasa.
Kami sekelas yang terdiri dari 36 remaja putri harus menjadi organizer acara tersebut,  sebisa mungkin tanpa bantuan ustadz/ustadzah kami, mulai dari merencanakan, mencari sumber dana, sampai hari H di mana kami harus tinggal di lokasi bhaksos yang terpencil sambil menjadi penceramah, mengajar di sekolah dasar, memasak, memberikan bantuan makanan, baju layak pakai dan mengikuti semua aktivitas masyarakat, all out selama 3 hari 3 malam. Target konkritnya, saat kami berpamitan dari lokasi bhaksos nantinya, masyarakat dapat merasakan manfaat kami, dan lebih dramatis lagi jika merasa sampai menangis karena kehilangan kami. Itulah yang ada di benak kami para remaja SMA kelas 3 saat itu.
Di kepanitiaan bhaksos tersebut tertunjuklah saya sebagai koordinator acara, yang sore itu, bersama teman saya Miftah koordinator Humas, harus mensurvey calon tempat bhaksos yang akan kami tempati. Selepas sholat ashar kami bergegas menaiki motor tua milik ayah Miftah agar tidak pulang kemalaman. Awalnya saya yang duduk manis di belakang Miftah santai-santai saja menikmati pemandangan sore yang semakin lama semakin membawa kami ke suasana pelosok desa yang sepi, sampai akhirnya jajaran rumah di kiri kanan jalan mulai jarang, hanya pohon-pohon pinus yang banyak di sisi kami, dan matahari semakin dekat menuju arah tenggelamnya, sementara perjalanan kami belum juga mencapai finish.
Jalanan yang semakin berkelak-kelok dan naik turun, dengan permukaannya yang berkerikil dan lubang-lubang, membuat saya meyakin-yakinkan diri ditengah kegalauan yang mulai melanda. “tentu saja harus begini” batin saya ”ini yang namanya perjuangan”. Beberapa orang tampak hendak pulang dari sawah. Tapi tetap saja saya merasakan kelengangan yang mulai mengganggu. Saya terus bershalawat dan beristighfar dalam hati sambil menenang-nenangkan diri “barang siapa menolong agama Allah, Allah akan menolongnya dan mengukuhkan pijakannya.” Saya dan Miftah berusaha ngobrol untuk menyembunyikan ketakutan di hati kami masing-masing. Dan setelah melampaui semua kesulitan tersebut, jam lima lebih beberapa menit, sampailah kami di rumah kepala dusun yang kami tuju.
Bagaimanapun juga kami tetap harus bersyukur atas sambutan yang luar biasa dari bapak kadus. Kami diterima dengan baik dan mendapatkan semua informasi yang kami butuhkan tentang penduduk dusun tersebut.  Dalam hati saya tetap khawatir bertanya “bagaimana pulangnya nanti ya? Kalau perjalanan berangkat saja sudah demikian horornya, pulangnya nanti bagimana?” meski begitu saya berusaha terlihat santai di mata Miftah. Dia tidak boleh tahu saya sedang ketakutan, sebaliknya saya ingin dia berprasangka bahwa saya siap mendampinginya sampai tugas kami selesai. Walaupun sejujurnya hati saya tidak. Dan meski sudah berusaha mempersingkat segala keperluan kami di rumah pak kadus, bakda sholat maghrib kami baru dapat berpamitan. Dan disinilah, kisah tak terlupakan ini bermula.
Begitu menyalakan sepeda motor, kami baru sadar bahwa lampu depan motor tua bapaknya miftah tak bisa berfungsi. Saya sudah ingin menangis rasanya. Tapi sekali lagi saya harus terlihat lebih punya nyali dari pada miftah. Agar seandainya dia juga takut, dia jadi tenang karena melihat saya tidak takut dengan perjalanan kami yang mencekam. Motor yang kami naiki benar-benar merayap dalam gelap. Kami hanya mengandalkan lampu depan rumah penduduk desa yang jarang. Sambil ngobrol dan bershalawat nabi terus dalam hati, Alhamdulillah akhirnya kami mulai keluar dari lenggak-lenggok jalanan desa, menuju jalan beraspal yang di kiri kanannya hanya terlihat pinus, yang tidak terlalu terang juga.
Baru beberapa ratus meter menikmati jalanan beraspal, motor kami tiba-tiba mogok. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya Miftah berhasil menstarter kembali motornya dan kami jalan lagi. 500 meter, mogok lagi. Miftah berhasil menstarter lagi. Jalan. 200 meter, mogok. Starter lagi, jalan lagi. Suasana di kiri-kanan kami tetap lengang dan mencekam, tak ada orang yang bisa kami mintai bantuan. Jikapun ada rumah, jaraknya masing-masing berjauhan dan terllihat sudah tutup semua. Kami hanya dapat saling menguatkan hati.  400 meter, mogok lagi. Tapi kali ini kami mogok di depan warung dipinggir hutan. Ada beberapa bapak duduk berkumpul sambil minum-minum. Entah minum apa kami tak punya waktu untuk suudzon. Karena melihat kami sudah berusaha menstrarter motor beberapa kali tapi tidak bisa, seorang bapak mendekati dan menawarkan bantuan. Kami meski khawatir tapi bismillah dalam hati, barangkali ini pertolongan Allah. Dan Alhamdulillah kami bisa jalan lagi. Perjalanan masih lumayan panjang, kami berdoa dalam hati agar tidak macet lagi.
1 km berjalan, dan... macet lagi. Sungguh… astaghfirullah. Kiri kanan kami hanya pohon pinus. Miftah berusaha lagi menstarter setelah beberapa kali. Tetap tidak bisa. Kami diam beberapa saat. Tiba-tiba ada motor melintas. Mereka melihat kami, dan akhirnya berhenti. 2 orang laki-laki mendekat. Perawakan mereka keduanya biasa saja, tidak tinggi tidak juga pendek, tidak kurus tidak juga gemuk. Usianya sekitar 25-an. “kenapa mbak?” Tanya mereka. Kami berusaha menjawab sesopan mungkin, supaya, seandainya mereka orang yang berniat jahat, siapa tahu dengan kesopanan kami mereka akan bersikap baik juga. Saya tidak tahu apa teori saya benar, yang jelas kami sangat panic sekaligus berharap ditolong.
Mereka mengusulkan menuntun motor kami ke rumah mereka. Saya tidak tahu harus menjawab apa selain mengangguk. Hati saya tak henti menggumam shalawat nabi, istighfar, ayat kursi. Miftah juga sama, mengikuti mereka menuntun sepeda entah sambil berdoa apa dalam hati. Sekitar 100 meter, benar ada bangunan rumah. Oh tidak, itu bengkel bukan rumah. Kami lega. Lega sekali. Ternyata itu bengkel milik salah satu dari mereka. Saya dan miftah mulai dapat bernafas lega sambil tetap menyembunyikan ketakutan kami masing-masing. Sepertinya kedua orang itu benar-benar berniat baik. Tapi kami tetap berdoa, berdoa dan waspada.
Motor tua itu dibongkar, entah dibenahi apanya, yang jelas kami sudah tidak sekhawatir tadi. Setengah jam kami menunggu. Sampai akhirnya mas tadi (kami tak punya waktu untuk sekedar bertanya nama) mencoba naik motor kami. Langsung bisa. Dan… Subhanallah, Lampu motornya… menyala!!! Subhanallah!!! Subhanallah!!! Saya girang, tapi dalam hati. Hanya saling pandang dengan miftah saking takjubnya.
Mas penolong itu kemudian menawarkan mengiringi perjalanan kami sampai di batas perkotaan. Tentu saja kami mau. Saya dan miftah mulai yakin 85% kalau mereka orang baik. Di perjalanan mereka bertanya apa yang kami lakukan, dari mana mau kemana, sampai mogok di pinggir hutan. Kami ceritakan tujuan perjalanan kami. “Kenapa tidak pagi hari saja?”, Tanya mereka. Karena kami tidak boleh ijin tidak masuk sekolah karena urusan ini, jawab miftah. Sementara, lokasi bhaksos kami harus segera ditentukan, jawabnya lagi. Mereka kemudian bercerita, betapa bahayanya tempat yang kami lewati tadi. Banyak kasus curanmor, dan kasus criminal lainnya yang tak sanggup saya bayangkan dan katakan, sering terjadi di sekitar tempat itu. saya bergidik. “kalo mau survey lagi, pagi-pagi saja ya mbak, lebih aman” saran mereka. “Disini juga sering jadi tempat balapan motor liar lho mbak” katanya lagi bersamaan dengan rombongan sepeda motor bersuara mengerang-erang yang tiba-tiba melintas menyalip kami. “Ya Rabb… terima kasih kau datangkan penolong untuk kami” kataku dalam hati.
Jalan terlihat mulai ramai dan terang, dan batas kota sudah hampir sampai. Tanpa turun dari sepeda mereka berpamitan singkat dan menasehatkan agar kami hati-hati. Kami hanya berucap terimakasih karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Motor mereka balik kanan dan cepat sekali hilang dari pandangan kami. Miftah dan saya melanjutkan perjalanan.
Segera setelah sampai di rumah miftah, saya segera bersujud untuk bersyukur. Kami berdua saling memandang tanpa berkata-kata. Semua rasa jadi satu, ingin nangis, ingin menumpahkan ketakutan kami tadi, ingin menumpahkan ketidakpercayaan kami atas apa yang baru saja terjadi. Ya Rabb… sungguh kuasaMu. Bahkan kami tak sempat tahu siapa nama penolong kami tadi, dan bagaimana wajah mereka dengan jelas. Sungguh ya Rabb, atas kuasaMulah segalanya terjadi. Dan peristiwa ini sungguh meninggalkan nasehat yang kuat dalam hati saya agar selalu meluruskan niat, berusaha agar jadi orang yang manfaat, karena ketika kita berusaha menolong agama Allah, Allah akan menolong kita dan mengukuhkan kita. Itu pasti, karena itu janji Allah dalam firmanNya.

0 comments:

Post a Comment