Friday 17 April 2015

Wahib, Gie dan saya



Sejak kecil saya suka menuliskan kisah harian saya dalam sebuah buku. Hingga SMA, saya telah memiliki beberapa buku harian yang tersimpan rapi. Suatu saat ketika membutuhkan, saya membacanya untuk mendapatkan nasihat dari tulisan-tulisan sendiri. Suatu saat di kelas 3 SMA, kakak kelas memberi hadiah buku. Pergolakan pemikiran Islam oleh Ahmad Wahib. Kaget saya saat itu, ternyata buku tersebut adalah buku harian. Sekali lagi, sebuah BUKU HARIAN, milik Ahmad Wahib, yang memotret pikiran-pikirannya tentang Islam, politik, lingkungan sosial dia berada, serta pergerakan yang dia geluti.
Di bangku kuliah saya bertemu buku serupa meski berbeda. Catatan harian sang Demonstran oleh Soe Hok Gie. Baik Buku Wahib dan Gie, keduanya ditulis oleh 2 orang yang berbeda latar belakang, tempat tinggal, dan lingkungan social. Namun keduanya  memiliki kebiasaan sama , semangat yang sama,  dan hidup di jaman yang sama. Catatan harian keduanya dibukukan ketika si penulis buku harian telah tiada. Karena kuatnya pikiran yang mereka tuangkan dalam tulisan pribadi mereka, teman-teman almarhum tak rela jika pikiran keduanya tak terbagikan kepada khalayak. Betapa dahsyatnya efek dari tulisan,meski hanya berawal dari sebuah catatan harian, membuat mereka berdua tetap sanggup bersuara meski raganya tidak lagi bersuara.
Membaca 2 tulisan tersebut, saya jadi iri pada Gie dan Wahib. Sejak itu saya berupaya menuliskan sesuatu yang lebih manfaat di buku harian saya. Saya ingin suatu saat ketika saya tak lagi hadir di dunia, saya masih memiliki warisan yang dapat menghadirkan diri saya. Bukan raga saya, tapi pikiran.
Demikian dengan keinginan saya untuk melanjutkan Gie dan Ahmad Wahib. Meski saya memiliki interest, jaman dan lingkungan berbeda dengan kedua almarhum penulis tersebut, tapi saya juga menginginkan berbagi pikiran saya kepada orang lain. Berbagi maslahat yang semoga saja mampu menjadi amal jariah. Sehingga saat jasad saya telah terkubur, ada amalan yang mengalir karena berbagi kebaikan dengan orang lain. Melalui tulisan.
Segampang itukah, tentu tidak.  seseorang selalu ditantang konsistensinya untuk dapat mewujudkan mimpi. Dan sedikit dari kebanyakan orang yang mampu mewujudkan impiannya pada akhirnya adalah orang-orang yang memiliki passion, memiliki cinta terhadap sesuatu yang dilakukannya. Saya teringat puisi indah milik HL Nerry
If you don’t like your work, you’ll need three times the energy
to force yourself to work, to resist the force, and finally to work.

If you love your work, your desire to do it, will be like a wind
to propel your ship with much less fuel.

If you like your work, you work no more
for work when you like it, is work no longer
but sheer enjoyment.

If you enjoy your work, you’ll work and work
without counting the hours
and you’ll reap and enjoy, more earnings as well.

 “ jika kamu tidak menyukai pekerjaanmu, kamu akan butuh tiga kali energi. Pertama, energi untuk memaksa diri bekerja. Kedua, energi untuk bertahan dari paksaan yang menyakitkan , dan ketiga energi untuk bekerja itu sendiri.
Jika kamu mencintai pekerjaanmu, hasrat kita laksana angin, yang akan mendorong perahu kita, sehingga lebih sedikit bahan bakar yang kita butuhkan.
Jika kamu menyukai pekerjaanmu, kamu tidak lagi seperti orang bekerja. Pekerjaan yang kita lakukan dengan suka hati, bukan lagi seperti sebuah pekerjaan, tetapi sebuah kesenangan.
Jika kamu menikmati pekerjaanmu, kamu akan bekerja dan bekerja, tanpa menghitung waktu. Kamu akan melesat dan menikmati, dan mendapatkan hasil lebih banyak. “
Dan setiap niat baik, wajib kita bentengi dengan passion yang tinggi agar tak berhenti di tengah jalan. Saya harus menaklukkan ketidak-konsistenan dalam menulis. Karena, kesuksesan pada akhirnya hanya datang kepada orang-orang yang setia terhadap keyakinannnya melakukan apa yang mereka sukai.  Seperti Thomas Alfa Edison yang butuh waktu berkali-kali gagal hingga pada akhirnya menemukan bola lampu yang saat ini dikembangkan dan digunakan seluruh manusia. Atau  Soichiro Honda, yang mengatakan bahwa kesuksesannya hingga kendaraan bermerek nama dirinya, yang saat ini dinikmati semua manusia di penjuru dunia, hanyalah 1 % dibanding 99% kesulitan yang pernah dialaminya. Kesulitan tersebut tidak akan berujung sukses jika Honda tidak menyukai apa yang dilakukannya. Terlebih Steve Jobs, yang bahkan pernah dipecat dari perusahaan besar miliknya sendiri, yang dirintis bertahun-tahun dari garasi rumahnya. Jika bukan karena kebesaran hati dan kesetian pada dunia yang dicintai, manalah mungkin bisa kembali berjaya dan memberikan lebih banyak temuan bagi masyarakat dunia. Mereka hanya sedikit contoh orang-orang yang berhasil mengatasi segala macam kesulitan dalam pekerjaannya. Bagi orang yang mencintai pekerjaannya, kesulitan adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Bukan monster yang membuat kita berlari dan berteriak menjauh. Para penulis hebatpun demikian, mereka mengalami penolakan demi penolakan hingga akhirnya menemukan tempatnya saat ini.

0 comments:

Post a Comment