Thursday 18 May 2017

27 dan Buku Pertamaku



Membaca dan menulis itu sepasang, sepaket, sejoli. Jika salah satunya dipisah, yang muncul adalah penyakit.


Saya ingat permisalan Ken Patih, Odoper pendahulu kita, yang kurang lebihnya begini: Pertama, orang yang banyak membaca tapi tak banyak menulis, itu seperti sembelit. Dia kebanyakan asupan tapi tak dikeluarkan. Kedua, orang yang banyak menulis tapi tak banyak membaca, itu seperti diare. Dia meninggalkan jejak di mana saja (fesbuk, kuitansi, buku nota, pintu WC, uang kertas kusam, dan sebagainya), tapi tak terjamin mutunya. Ketiga, orang yang banyak membaca, juga banyak menulis.

Ini, dijamin sehat wal afiat, persis penuturan Stephen King, “if you want to be a writer, you must do two things above all others; read alot and write a lot.”

Saya  sendiri, agak lupa mana dari keduanya yang saya lakukan lebih dulu. Yang jelas pada saat kelas 2 SMP, saya telah berburu novel detektif kanak-kanak tulisan Stefan Wolf: Kasus Untuk Stop. Dari terjemahan karya Mr. Wolf saya mendapatkan idola imajiner bernama Sporty yang jago yudo, Thomas yang jenius, Oskar yang setia kawan, dan Petra yang penyayang. Beberapa kali superstar saya ini muncul di mimpi dan membuat saya berangan-angan ingin menginjak tanah kelahiran mereka, Jerman.

Pada saat yang hampir sama, rasanya saya juga telah memiliki buku diary, tempat menumpahkan gelisah sehari-hari. Tapi isinya, ya seperti itu,  curhat securhat-curhatnnya. Ngambek sama teman, naksir cowok sekolah tetangga, salam-salim, komplit semuanya ada.

Di kelas 2 SMA, saya mendapat kado ulang tahun yang kemudian merubah pandangan dan konsep diri saya. Seumur-umur, baru kali itu saya dikado buku bacaan. Pertama melihatnya, saya pikir kakak si pemberi kado telah salah pilih. Buku itu sarat dengan catatan politik, perdebatan mencari kebenaran, dan cinta. Saya tentu hanya paham pada tema yang saya sebut paling belakang saja. Tapi tak urung saya jadi penasaran pada fakta di balik penerbitan buku tersebut. Buku itu, hakikatnya, adalah buku harian yang telah ditinggal mati oleh pemiliknya.

What?

Saya mikir, atas dasar apa sebuah buku harian dapat diterbitkan? Telah dicetak berulang-ulang pula. Bagaimana dengan buku harianku?

Wait, saya lalu mengamati dan membandingkan isisnya.

Ternyata, dalam goresan tintanya alm. Ahmad Wahib (sang penulis catatan harian) adalah sosok yang tulus mengabadikan pikiran-pikiran besarnya dalam buku diary. Sedangkan saya? duh... dibaca orang lain saja tak patut.

Maka sejak saat itu saya berjanji ingin mewariskan tulisan yang lebih baik lagi, menulis yang berhikmah. Sometime buat belajaran, saya menulis dengan bahasa Inggris. Tapi ujung-ujungnya sih tetep saja sama, saya cuma jadi jago kandang.

Ada teman kuliah yang sudah beberapa kali resensinya dimuat di koran. Ada teman yang coba-coba nulis rubrik pembaca atau serba-serbi pendek. Tapi saya sungguh belum berani go public. Saya cuma main redaktur-redakturan dan nerbitkan mading di kamar kost, sendiri. Menthoqnya sih, ngompile puisi-puisi patah hati, diprint dan jilid rapi untuk saya hadiahkan pada kawan.

Waktu berlalu. Usai lulus kuliah, saya terjebak oleh aktivitas yang pernah sangat saya ejek, guru SD. Guru SD itu stag, nggak up to date, mandeg dan lain-lain. Dan itu benar, saya ngerasakan itu semua setelah saya jadi guru SD.

Seiring waktu, saya lupa kalo saya pernah suka nulis.

Kepala sekolah yang tahu kalau saya punya potensi nulis, sebenarnya pernah minta saya menulis buku pembelajaran. Tapi hasilnya... nihil.

Jadi guru SD benar-benar melelahkan, belum lagi kalau harus mengurus administrasi pembelajaran ini dan itu. Tapi karena ada keinginan kuat agar anak-anak lekas menguasai pembelajaran, ada satu yang suka saya lakukan, yaitu menggubah lagu anak-anak dengan kosakata berbahasa Arab yang saat itu sedang dipelajari.

Karena alasan dokumentasi, dan sulitnya mencari buku bahan ajar bahasa Arab yang memadai, maka akhirnya nekatlah saya menyusun bahan pembelajaran untuk murid-murid saya sendiri.

Eng ing eng... akhirnya jadilah buku berisi kumpulan lagu bahasa Arab yang melodinya diambil dari lagu-lagu anak yang sudah akrab di telinga. Di awal atau akhir materi, saya tambahkan beberapa kuis sebagai sarana mengasal ketrampilan baca dan tulis.


Buku debut itu berjudul Bahasa Arab itu mudah. Meski hanya untuk kalangan terbatas Alhamdulillah hingga saat ini buku telah dicetak beberapa kali, sejak saya menyelesaikannya pertama kali, di usia dua puluh tujuh.

5 comments:

  1. Mba Hiday emang keren 👏👍

    ReplyDelete
  2. Sampai usia (hampir) 27 tahun, satu2nya buku yg saya "terbitkan" hanya buku nikah. ����

    ReplyDelete
  3. Wuih ... pantesan, sejak SMP sudah begitu.
    Saya telat belajar nih. Baru menulis sejak gabung ODOP.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Kerennn Mbak...!!! Jangan pernah berhenti bermimpi ya...😘😘😍

    ReplyDelete