Tuesday 2 May 2017

Beware of Your Dreams!


“Hati-hati bermimpi!” mungkin kutipan itu cukup mampu menjelaskan kisah hidup saya yang berkelak-kelok bak tikungan jalan raya. Seperti kata Phil Vicsher, Beware of your dreams!


Sampai usia SMP, lingkungan yang nyaman dan hampir tanpa tantangan membuat saya memiliki cita-cita mulia dan sederhana, jadi guru agama. 

Pernah sekali, saya menulis ingin jadi pengusaha sukses yang go internasional, tapi sepertinya itu hanya buat keren-kerenan di atas buku Diary yang hendak saya mintakan isi oleh teman-teman.

Saat SMA, saya disadarkan akan satu kondisi, bahwa bapak berusaha cukup ekstra untuk bisa memenuhi keinginan saya belajar di Sekolah favorit, MAN 3 Malang. Realitas ini membuat saya takut bermimpi. 

Maka ketika saling berbincang asa dengan teman, saya selalu katakan, “selepas s1, saya ingin bekerja dulu. Tak mungkin saya mengharap orangtua membiayai studi s2.” Dengan prestasi yang tidak bisa dibilang jelek, teman-teman mempertanyakan ucap saya, why?

Sebelum SMA berakhir, saya sempat optimis bisa diterima di jurusan Bahasa Inggris melalui jalur Undangan. Namun betapapun keyakinan saya dan banyak kawan bahwa rangkaian prestasi akademik dan non akademik akan mampu mengantarkan saya masuk ke kampus negeri yang saya tuju, rupanya Tuhan berkehendak sebaliknya. 

Gelap sudah impian untuk jadi guru Bahasa Inggris, yang sebenarnya baru terproklamirkan setahun belakangan ketika saya beberapa kali menjuarai speech contest.

Saya berubah haluan karena diterima belajar di kampus Islam Negeri Yogyakarta tanpa test. Menikmati keasyikan dunia kampus dan berorganisasi, sempat membuat tatap muka dengan dosen jadi bolong-bolong dan tidak serius. Mimpi saya masih sama: lulus kuliah, kerja, kalau ada biaya baru akan S2. 

Sampai pada sebuah moment dimana proposal penelitian yang saya kirim untuk sebuah beasiswa penelitian dan penulisan di sebuah lembaga bergengsi, bisa tembus. Saya terjaring dalam 10 perempuan se-jawa bali yang akan menerima bimbingan dari pengelola jurnal internasional di jakarta. Weew...

Persis seperti kata Karl Marx, pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan dan hubungan sosial yang ditimbulkan. Nyatanya sejak menerima beasiswa elit itu, muncul semangat berburu segala macam beasiswa untuk meringankan beban orangtua. Termasuk, merenungkan kembali mimpi terdahulu. “Setelah lulus, saya harus mencari beasiswa. Dengan itu saya bisa tetap sekolah dan tidak merepotkan orang tua.”

Setelah 3 tahun 8 bulan, predikat lulus tergapai. Dengan sejarah kuliah yang tak rajin-rajin amat, Alhamdulillah saya masih bisa cumlaude. Artinya, pengalaman organisasi dan IPK masih akan memungkinkan untuk bisa menjangkau beasiswa studi s2, Insyaallah. 

Dan benar, tepat selepas memperoleh ijazah, saya segera mengakses S2 gratis untuk Interdisciplinary Islamic Studies. Program ini adalah kerjasama kampus almamater dengan Mc Gill University, Kanada. Saya agak optimis, karena mengenal salah satu lulusan Mc Gill yang sebelumnya menjadi pembimbing beasiswa penelitian, dan sepertinya terlibat sebagai dosen dalam program yang hendak saya ikuti.

Tapi belum lagi semua berkas terurus, tiba-tiba saya diharuskan pulang kampung. Bapak yang selama ini tak pernah mengeluhkan sakit apapun, mendadak muntah darah. Sejak belia Bapak telah akrab dengan hidup prihatin. Kemudian, memilki anak bungsu yang selalu ingin menuntut ilmu, membuat bapak bekerja ekstra demi membiayai biaya hidup keluarga sekaligus seorang anaknya di kota lain. 

Syukurnya di tengah kondisi bapak yang sakit, berbekal pengalaman beberapa tahun sebagai relawan Palang Merah Indonesia, saya diberi kepercayaan oleh dokter untuk bisa merawat dan memberikan injeksi langsung ke bapak. Ini sangat menghemat pengeluaran. 

Usai bapak sembuh, saya beraktivitas kembali. Bergabung dengan sebuah LSM yang menjunjung cita-cita mewujudkan masyarakat berkeadilan jender, saya memiliki kesempatan untuk belajar sebulan gratis di sebuah LSM internasional di jogja, bersama puluhan aktivis organisasi nirlaba dari berbagai penjuru Indonesia. 

Seperti sebuah ungkapan anonim yang populer, Hidup yang sebenarnya dimulai setelah menikah. Saya menata ulang segala aktivitas dan memutuskan untuk menjadi guru. Tepatnya, diminta mengajar sebagai guru bahasa arab dan PAI. What? Guru agama? Ya begitulah, my chilhood dream comes true.

By the way bus way, bersambung dulu ya... kayaknya bakal panjang nih. Keep calm and hold on, gaes... Ciaoo

14 comments:

  1. Wow.. Terang benderang kerennya.

    So.. Hati-hati dengan mimpi.
    Baiklah, Mba. Terimakasih. Sukses selalu yaa.

    ReplyDelete
  2. Aamiiin, thak you bibi Na :)

    ReplyDelete
  3. Keren sekali Emak perjuangan dan prestasinya. Ah hidup saya belum dimulai karena belum menikah hehehe

    ReplyDelete
  4. Keren sekali Emak perjuangan dan prestasinya. Ah hidup saya belum dimulai karena belum menikah hehehe

    ReplyDelete
  5. Mbk hiday ni mantap seklai

    ReplyDelete
  6. Aku pemimpi ulung yang terus bermimpi hingga akhirnya terbangun. Dan tidur kembali 😂😂

    ReplyDelete
  7. Kahiday masyaAllah perjuanganmu😍

    ReplyDelete
  8. allohuakbar...mbak hiday keren banget...

    ReplyDelete
  9. Subhanallah kerenmuu, Bunda!

    Aku udah nikah tapi mimpiku redup (atau aku yang emang terlalu nyaman di comfort zone?

    ReplyDelete