Tuesday 2 May 2017

Beware of Your Dreams! (Part 2)


Hai gaes, kalo kamu belum baca ini, ada baiknya baca dulu ya. Yuk mari cerita dilanjut...

Just a few months after getting married, seorang kawan mengabarkan, “Mendaftarlah, aku yakin kamu bisa. Aku hendak berangkat ke Hawai, katanya.”


Dengan segenap keringat dan support suami, saya menyiapkan segala berkas untuk mengikuti seleksi International Fellowship Program di sela aktivitas mengajar yang full day.

Proses seleksi berjalan panjang, bertahap dan lama. Dari aplikasi administratif, ke Esay, ke Toefl, sampai wawancara. Dari saya hamil, sampai melahirkan bayi mungil. So, dengan agak nekat, berdua dengan suami saya mengikuti seleksi akhir beasiswa, tepat 10 hari usai operasi cesar. Seriously! Bayangkan! (Oh tidak-tidak, jangan dibayangkan, biasa aja.)

Everything ran so well. Semuanya, kecuali pada 1 pertanyaan interviewer, “anda yakin mau kuliah ke luar negeri? Saya yang laki-laki saja sulit meninggalkan keluarga. Nanti anaknya bagaimana?” Itu satu-satunya pertanyaan yang tak bisa saya jawab. Cuma meneteskan air mata. I’m a mother, a family woman. Setinggi apapun cita-cita, tak mungkin saya lalui dengan meninggalkan anak dan keluarga.

Hm.. belum rejeki, pikir saya kemudian. Next time, mungkin. Mimpi belum berakhir, hanya ditunda.

Kembali fokus mengajar, once, sekolah butuh koordinator program bilingual. Entah karena suatu hari teman-teman mendengar pronunciation saya sedikit lebih baik dari logat Inggris-Jawa atau gimana, akhirnya saya ditunjuk jadi Bilingual Caretaker. Widih.. Seorang alumnus Tafsir Hadits bertranformasi jadi guru bahasa Inggris. Saya sampe bikin kamus daily-fragment dictionaries untuk buku pegangan program tersebut.

Semakin tersudut untuk mengurusi program kebahasaan di sekolah, saya menulis beberapa buku untuk pengembangan kurikulum khas di sekolah, Bahasa Arab dan Inggris. Wew... Meski masih skala lokal, saya jadi teringat dulu sempat ingin jadi penulis. And see, I wrote my own books.

Thank you internet, hidup saya jadi gak secupet katak dalam tempurung. Dari teman-teman yang sudah berjaya jadi awardee di luar negeri, saya bisa ajak murid-murid video call dengan teman di belahan dunia lain, atau kenalan dengan foreigner yang andal dan suka membantu.  Salah satunya melakukan proof-reading untuk text-book bahasa Inggris yang saya tulis.

Well, mimpi-mimpi lama masih mengintai. Pas banget ketika tiba-tiba kangen sama hobi nulis, tiba-tiba ada selebaran tentang komunitas Sekolah Menulis Tuban alias semut. Waah... saya bahkan sudah lama vakum kirim opini ke majalah Pemkab. Thanks God, mungkin inilah saatnya.

Hari-hari saya jadi baru lagi. Berawal dari gabung semut yang kemudian diresmikan Mbak Sinta jadi FLP, ngepoin grup penerbitan sampe ikut acara Gong-Traveling, akhirnya saya dipaksa jadi pimpinan FLP di Tuban yang masih unyu-unyu latihan merangkak. Oh Well... Mungkin belajar memang harus begini. Biar sekalian, saya cemplungin diri jadi kontributor majalah sekolah yang oplahnya seribuan lebih.

Setahun belakangan, saya ampun-ampunan sama tugas sekolah yang rasanya tidak kelar-kelar. Ngajar SD karena sertifikat pendidik saya terdaftar di sana, ditambah tugas mengelola kurikulum SMP dan SMA di lembaga yang sama.

Huuwaaaa... mabok rasanya. Menolak berkali-kali gak didengar juga. I need some fresh air. Suami lalu nyaranin supaya saya nyoba kuliah lagi. "This is the time," katanya.

Agak tertatih, disambi ngurus administrasi sekolah yang tak ada habisnya, saya de-javu nyiapin berkas-berkas seperti dulu. Nyusun CV yang baru, bikin essay, cari rerefence, dan memperbarui skor TOEFL yang kadaluarsa.

 Tiba-tiba saya menyadari kalau ternyata Tuhan tidak meminta kita menanti tanpa alasan. Dulu mungkin saya tak sesiap ini, secara mental, fisik, atau apapun. Tak pernah ada pengalaman yang sia-sia, rupanya. Bahkan CV saya bisa panjang dan portofolio jadi tebal karena segala aktivitas yang saya lakukan selama ini, sembari menunggu.

Setelah fokus harus terbelah sekian bulan antara menyelenggarakan UN di sekolah dan preparing tes substansial LPDP yang nggak main-main, finally God granted me my prayer. Sekolah berbaik hati ngasih cuti belajar setahun. Yeaa, that will be refreshing time.

I enjoy my life as a student, again. Dan sebagai mahasiswa, seperti dulu saya ingin optimal mengasah skill saya lagi. Kali ini skill itu adalah... menjadi penulis. Bismillah***

8 comments:

  1. internet sangat membantu ya mbak, walau badang belum keliling dunia. tapi wawasan sudah keman mana :)

    ReplyDelete
  2. Betul. Trimakasih kunjungannya :)

    ReplyDelete
  3. Hebat Banget Mak, belajar banyak dari tulisan ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat... Jalan masih panjang :)

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  4. Masyaallah...great post, Bunda

    Baca inii diriku teriak2 "iyyess ternyata aku temenan sama orang kereeen!!"

    ReplyDelete
  5. Keren banget mbak Hiday...
    Semoga ilmunya barokah

    ReplyDelete
  6. judulnya udah kayak bang napi aja mbak Hid, beware.. waspadalah waspadalah...

    ReplyDelete