Saturday 9 February 2019

Hotel Tua Pak Tua Budi Darma



Holaa

Selamat hari ini, Masnya-Mbaknya-Adiknya.

Blogger musiman kesayangan suamiku datang lagi nih. Kali ini karena ada tugas riviu dari Reading Challenge Odop.

Tapi dilarang serius ya, selow ajaa... biar bahagiyaaa...

Buku yang saya baca untuk tantangan pertama, kategori bebas tak kurang dari 120 halaman, adalah Kumpulan Cerpen Hotel Tua karya Profesor Budi Darma.



Ini buku diterbitkan oleh Kompas Media Nusantara pada 2017, dengan jumlah halaman 232+viii dan ukuran buku 13x19 cm. Dijelaskan dalam katalog bahwa buku tersedia dalam dua versi: soft cover dan e-book, dengan ISBN berbeda.

Nama Budi Darma saya tau sekian tahun dahulu saat kakak kelas mengenalkan novel olenka. Saya tak paham apa isinya. Pernah mengulang membacanya dari perpusda tapi sekarang pun saya lupa isinya tentang apa. (Maapken aku yang dulu)

Yang jelas saya tau sejak itu bahwa nama Budi Darma tidak main-main dalam kesusasteraan Indonesia.

Beberapa kali saya menemui cerpen Budi Darma dalam cerpen pilihan Kompas. Kesannya sama saja: blank. Gak paham ini Bapak bertamsil tentang apa. Jauh dah jauh, otak saya tak nyampe.

Di kopdar kedua Sahabat Pena Nusantara (SPN), di UNESA, Prof Budi Darma dihadirkan. Sedihnya saya tak bisa bertemu beliau karena masih dalam perjalanan pulang dari Jerman. Syedih sih tapi yasudahlah. Ngarep bisa ngobrol dengan beliau seperti saya bercakap dengan alm. Pak Hernowo di kopdar SPN 1, tapi udah saya bilang yasudahlah kan? Jadi yasudahlah.

Belakangan, saya kenal seorang teman yang cukup menggilai karya-karyanya (hanya) karena dia juga orang Rembang seperti bapak yang santun ini. Tiba-tiba saja dia nawari saya pinjam buku ini. Hahaha, baeqlah, sini-sini.

Dan belakangan yang minjami buku kelimpungan pas mau kirim resensi buku ini ke media. Sebabnya, foto buku harus jepretan sendiri. Dia minta saya memotret dan bilang "wow, makasih Mbak". (Belakangan saya tahu kelakuannya ketika foto lainnya yang satu jepretan dipasangnya di instastory untuk dibuli. Hfft)



Okay, kita akan bicara tentang Pak Budi, bukan tentang fans gelapnya itu.


Ada 18 cerita pendek dalam buku ini, yang diantarkan oleh kata pengantar Bre Redana. Pendek kata, Bre Redana bilang, cerpen Budi Darma adalah tentang anomali manusia dan keadaan.


Baru membaca beberapa cerita, saya langsung setuju.


Bahwa manusia-manusia anomali itu disajikan dengan nama yang lebih anomali lagi, saya juga setuju.


Saya membayangkan bagaimana guru besar sastra Inggris ini menemukan nama Tutiek Makara, Lastri Kemat, Gauhati, Matporik, Gimbol, Haruman, Kuthari, dan lain-lain. Ada juga nama Bejo, dokter Santiko, Wilis, Misbahul, atau dua nama orang yang sangat mirip, bahkan tokoh-tokoh tanpa nama dalam karyanya yang lain.


Melukis tokoh-tokoh yang berkarakter kuat adalah spesialis Pak Budi ini. Maksudnya, baik namanya terlalu unik atau terlalu sederhana, bahkan tak diberikan nama sekalipun, adalah urusan tak sepele yang memiliki kemistri dengan segala takdir yang dia hadiahkan kepada mereka.


Pilot Bedjo misalnya, adalah nama yang memiliki sejarah panjang dan menjadi inti cerita sejak kalimat awal sampai penghabisan.


Hal menarik lagi dari cerpen Pak Budi adalah irama berceritanya yang teratur. Telinga saya menikmati irama ini sambil membayangkan intonasi kakek ini berbicara: alus dàn santun.


Tapi, masalahnya, dalam intonasi yang sopan ini ada banyak kejutan bertubi-tubi.
Ya ini mungkin perasaan saya pribadi yang selalu membayangkan beliau berrutur sendiri.


Harusnya Anda bisa membayangkan tempo cepat saat membaca:


... demikianlah, bertubi-tubi burung itu menyerang saya, dan bertubi-tubi pula saya menutup wajah saya denga tangan. Akhirnya burung itu hanya sanggup melukai tangan saya, tanpa sanggup mencongkel mata saya.


Oiya, hal lain yang saya sukai dari Pak Budi adalah serentetan narasinya tentang apa yang iya dan apa yang tidak iya. Selain contoh di atas, Pak Budi misalnya membandingkan orang distrik Rodham dengan orang Amish. Pak Budi meracau panjang lebar tentang kuburan yang bersatu untuk mengacaukan cerita tentang kuburan yang dipisah.


Memang begitu maestro. Sentuhannya berkelas. Kalimat-kalimatnya tak bombastis. Sangat bersahaja tapi bertenaga dan mengaduk-aduk.


Eh ya, jadi serius gini.


Sudah, segini aja riviu suka-sukanya. Kalo kamu suka, boleh kok kasih pulsa. Esalam, kasih like dan komen aja ih.




24 comments:

  1. Cerpen beliau itu 'dalam' dan serius memotret manusia. Gitu, sih nurut saya, Kak. 😄
    Salam kenal!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selow tapi dalem banget. Salam kenal juga, Mbak.

      Delete
  2. Aku pensaran sm yg bikin revuew... 😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku gak penasaran sama yang komen ini. Emang siapa sih dia? Anak siapa? Rumahnya mana? Cowok betulan apa kagak?

      Delete
  3. Jadi tahu tentang Budi Darma. Selama ini hanya tahu namanya. Oh, seperti itu ya gaya berceritanya. Keren. Benar Mba. Berkelas.

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Sayangnya bukan milik saya, Mbak. Dipinjami orang

      Delete
  5. belum pernah baca apapun yang berbau Pak Budi.. akan masuk wishlist..

    ReplyDelete
  6. Idem saya jg belum pernah baca apapun yg berbau pak Budi jd penasaran

    ReplyDelete
  7. Belum pernah baca, spertinya harus masuk rekomendasi

    ReplyDelete
  8. Nasib hotel tuanya bagaimana ya...😊😊

    ReplyDelete
  9. Ini yang keren yang mbikin resensi atau sang Maestro. Bikin penasaran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Prof Budi Darma, Pak Dhe. Saya mah buat resensinya asal2an

      Delete