Hanya
dengan menulis aku menjadi tuan bagi diriku sendiri. (HAMKA)
HAMKA adalah nama pena dari Haji
Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir
di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. Beliau bapak
bangsa yang dikaruniai Allah swt berbagai keahlian sehingga kita dapat
menjulukinya dengan berbagai sebutan: pejuang muslim, mufassir, ulama, jurnalis,
sastrawan, juga politisi. (bio.or.id/biografi-buya-hamka)
Sebutan Buya sendiri, adalah serapan
dari Bahasa Arab yang secara istilah bermakna ayahku. Meski dalam bahasa
aslinya menyalahi kaidah gamatikal, namun dalam kajian sosiologi linguistic, buya
adalah pemakaian istilah dalam suatu komunitas sebagaimana Abah dalam
masyarakat Sunda atau Bapak bagi orang Jawa. Lebih khusus, panggilan ini
disematkan pada kiai atau tokoh agama yang dulunya pernah belajar ke Arab atau
negeri-negeri Timur Tengah. Pendek kata, istilah ini Sakral , hanya digunakan
untuk orang berilmu tinggi yang sangat dihormati.(Rofiun: 2015)
Semenjak
hidupnya, Buya Hamka hanya mendapatkan pendidikan formal selama 3 tahun, itupun
tidak tamat. Semangatnya yang luar biasa yang membuatnya menguasai banyak
bidang ilmu. Di usianya yang ke-15, Buya merantau ke Jawa untuk berguru pada
para pemimpin Islam seperti Ki Adi Kusumo, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim
dan Sutan Mansyur. Pada usia ke-19, tekadnya untuk mendalami ilmu agama dan
Bahasa Arab mendorongnya berangkat ke Mekkah, sekaligus berhaji. (Irfan Hamka:
2013)
Lebih
dari tujuh bulan Buya bermukim di tanah suci. Untuk memenuhi biaya hidup,
disambinya bekeja sebagai pegawai percetakan. Pada jam istirahat, dimanfaatkan
waktunya untuk membaca berbagai kitab agama yang terdapat di gudang tempat
kerjanya, mulai tauhid, filsafat, tasawuf, sirah, dan lainnya. Jika bukan
karena saran Haji Agus Salim, Buya tidak hendak kembali ke tanah air dan masih
ingin berlama-lama di pusat peradaban tersebut.
Sesampainya
di Indonesia, beliau menetap di Medan. Buya mulai menulis, tentang kisah
perjalanannya, juga pandangannya tentang Jemaah haji Indonesia yang masih perlu
ditingkatkan pembinaannya. Opininya di berbagai koran mulai ramai dibicarakan.
Buya kemudian mengajar ilmu agama di kota Deli dan menjadi wartawan, untuk
memenuhi hajat hidupnya. Tahun 1959, Buya mendapatkan gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. (Irfan Hamka: 2013)
Kecintaan
Buya menulis menghasilkan ratusan karya yang tak hanya meliputi satu bidang
kajian saja. Ilmu keislaman, politik, sejarah, budaya, sastra, bahkan tafsir
AlQuran 30 juz. Tafsir Al Azhar adalah
karya fenomenal yang sangat dihormati berbagai ilmuwan dan ulama sampai ke
beberapa negeri jiran. Adapun karyanya yang lain seperti; Si Sabariyah, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau,
Agama Islam, Kepentingan tabligh, Ayat-ayat Mi’raj, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli, Terusir, Keadilan Ilahi,
Tuan Direktur, Angkatan Baru, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Falsafah
hidup, Demokrasi Kita, Ghirah, Tasawuf Modern, Perkembangan Tasawuf, dan Kenang-kenangan Hidup jilid I, II, III.
Dari sekian
karyanya tersebut, Buya bukan tidak mendapat tantangan sama sekali. Kondisi
politik yang memanas pada masa subur Partai Komunis Indonesia, membuat 2
sastrawan yang bertolak belakang paham dengan Buya, Pramudya Ananta Toer dan Ki
panji Kusmin, menyudutkannya sebagai plagiator dari Alvonso Care, pujangga asal
Perancis. Bahkan hingga saat ini isu plagiarisme ini masih sering
dikumandangkan sebagai sinyal peperangan karya sastrawan Islam dan sekuler. (taman-sejarah.blogspot.com)
Dengan
berbagai keahlian dan pengalamannya, Buya Hamka banyak didatangi tawaran
kekuasaan. Namun Buya telah memantapkan pilihannya sebagai ulama yang memiliki
kredibilitas. Pada tahun 1960, Buya ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler
oleh Panglima ABRI jenderal Nasution. Tawaran itu ditolak karena Buya khawatir
jabatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik mengingat
aktivitasnya sebagai penulis dan tanggungjawabnya sebagai ulama. Pada tahun
1970, Buya menolak diangkat menjadi Duta Besar di Saudi Arabia karena berat
meninggalkan jamaah masjid Agung Al Azhar di dekat tempat tinggalnya di
Jakarta.
Dalam masalah
akidah, Buya adalah ulama dan teladan yang lurus. Beliau pernah menolak
undangan Menteri Agama untuk menghadiri jamuan istana dalam rangka kedatangan
Paus Johanes. Beberapa tokoh Muslim membujuk, Buya tak bergeming. Demikian juga
saat menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya rela meletakkan
jabatan hanya karena pemerintah tidak berkenan ketika lembaga yang dipimpinnya
mengeluarkan fatwa haram mengikuti
perayaan Natal.
Pada
akhirnya, semakin tampak ketinggian budi Buya Hamka. Presiden soekarno yang
pernah memenjarakannya 2 tahun 4 bulan karena tuduhan perencanaan pembunuhan
terhadap presiden, justru memberikan pesan terakhir untuk diimami sholat
jenazahnya oleh seorang Buya Hamka. Mohamad Yamin, politikus Islam berbeda
partai yang perrnah berbeda haluan dengan Buya mengenai Pancasila sebagai Dasar
Negara, meminta Buya hamka menemani akhir hayatnya menjemput maut hingga
membawa jasadnya ke tanah Minang. Begitu pula Pramudya Ananta Toer yang pernah
sangat frontal menyerang karyanya, hanya mau jika calon menantunya yang asalnya
non-muslim, diislamkan oleh Buya Hamka.(Irfan hamka: 2013)
Tanggal 8 November 2011, Pemerintah
memberikan gelar pahlawan Nasional kepada 7 tokoh perjuangan, di antaranya Buya
Hamka.
image source:
https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fwww.agussuryono.net%2Fwp-content%2Fuploads%2F2014%2F12%2Fcover-ayah4.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fwww.agussuryono.net%2F2014%2F12%2F15%2Fayah-buya-hamka%2F&docid=r-2MzqzQKeenFM&tbnid=TlUm3G8ZcVd3xM%3A&w=1085&h=1661&client=firefox-a&ei=x6ruVqmnHIrk-QG0q7OgDQ
Bibliografi:
Hamka,
Irfan, Ayah, Jakarta: Republika
Penerbit. 2013.
Rofiun, Irfan, Abuya dan Buya, dalam http://www.kompasiana/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc diakses
2016-3-20
http://bio.or.id/biografi-buya-hamka/
diakses 2016-3-19
http://giribig.com/2014/10/kata-kata-hikmah-buya-hamka.html diakses 2016-3-19
http://taman-sejarah.blogspot.com/2016/03/lekra-dan-perang-tanding-kebudayaan.html?m=1 diakses 2016-3-20
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletebagus nih buat referensi tugas sekolah... :)
ReplyDeleteBoleh, silakan :)
ReplyDeletenambah ilmu nih, mksh tulisannya Mbak Hida ^^
ReplyDeleteMasyaallah jadi kangen ingin baca buku2 Buya Hamka. Jazakillah khairan katsira infonya Mba Hiday, semakin bertambah wawasan saya.
ReplyDeleteJadi pengin baca buku buya
ReplyDelete