“Kapan
ayah datang?”
“baru
saja. Maaf ayah harus sering keluar akhir-akhir ini” Gain, mengangguk asal, tak
terlalu peduli”
“Apa
yang terjadi anak muda? Haruskah kita ngobrol seperti father and son, atau
layaknya 2 sahabat yang lama tak jumpa?”
Canggung.
Butuh
beberapa menit sampai mereka larut bicara, mulai hal-hal tak penting hingga
trending topic. Bagaimanapun, Ayah selalu teman bicara dan pendengar yang baik
di mata Gain. Ucapannya selalu meluluhkan hati.
“What
about home? Everithing’s fine? Aku menitipkan rrumah ini padaku selama pergi”
Akhirnya,
sampai juga soal ini. Tapi Ayah jelas bohong jika tak tahu apa-apa. Semuanya
pasti telah didengar dari mama.
Gain
mencari kata….
“Aku
ingin merantau, Ayah…”
Ayah
kaget, terlihat dari ekspresinya. Tentu, mama belum tahu soal ini. Ini dorongan
hatinya yang paling update.
Hening. Ayahpun mencari
kalimat terbaik. Bersikap reaktif di hadapan anaknya adalah satu hal yang
selalu dijauhinya.
“Kalau
kau punya alasan yang benar-benar tepat dan bisa bertanggungjawab untuk itu,
ayah akan ijinkan”
Gain
mengumbar semua kesalnya, merasa ayah memberi peluang. Dia sudah bosan dipaksa.
Dia ingin mandiri, berjuang, membuat pilihan, dan mengenal dirrinya sendiri.
Dia ingin jauh dari rumah agar bisa merasakan kehidupan
“Terdengar
hebat nak.”
“Tapi…”
Mungkin karena Ayah pedagang, selalu mencari win-win solution. Tidak langsung
melarang, namun ada kompensasi. “Kau harus bisa meyakinkan mamamu bahwa kau
akan baik-baik saja.”
“Okay,
why not?” dan dia selalu merasa tertantang.
“Kau
tahu kan, kenapa mama selalu mengkhawatirkanmu?”
Aduh,
isu itu lagi. Orangtuanya tak henti mengingatkan betapa penyakitannya dirinya
setiap kali dia mengatakan ingin menikmati dunia di luar rumah.
‘But
wait, aku takkan menyerah kali ini, Tidak akan lagi’, batinnya menguatkan.**
“Bagaimana
ayah bisa seperti sekarang? Apa selama muda ayah dikurung di rumah? Segala
kebutuhan dicukupi? Tinggal tekan bel langsung datang? Atau tinggal gosok lampu
ajaib seperti Aladin?”
“Sudahlah
nak, mama minta maaf soal kemarin. Jangan berfikir kemana-mana!” mama berusaha
menenangkan.
“Ini
bukan soal mama jodohkan aku sama anak presiden atau anak penjual sayur. Ini granat
yang baru meledak setelah kupendam selama ini. Ma” Gain ngeyel
“Bagaimana
kalau kamu sakit? Siapa yang akan menjagamu?” mulai deh. Tapi dia sudah
menyiapkan jurusnya
“Aku
bukan anak kecil lagi. .Aku bisa menjaga diri. Sejak kelas 9 aku tak pernah
absen karena sakit. Aku sehat wal afiat. Di kelas 10 pun begitu, aku absen
bukan karena sakit, tapi ikut lomba ini itu. Mama tidak boleh melarangku degan
alasan sakit lagi. Bahkan ayah seperti sekarang karena banyak belajar di
jalanan kan? Kenapa aku tak diijinkan?”
Mama
tetap berat melepasnya pergi. Tapi ayah mulai terpengaruh. Ada keseriusan dalam
kata-katanya. Alasannya pun masuk akal.
“Aku
janji aku akan bertanggungjawab pada setiap yang kulakukan. Termasuk menjaga
kesehatan.” Gain menguatkan.
“
Aku nggak akan telat makan. Aku juga akan nelpon mama… ehm… sebulan sekali”
“seminggu
sekali!” potong mama
“
hm… dua minggu sekali, tolong dong ma. Percayalah padaku!”
Wajah
sendu mama tak kunjung reda meski beberapa hari berlalu dari malam yang tak
berpihak padanya itu. Gain masih punya beberapa hari sambil menanti urusan
administrasi perpindahan sekolahnya beres. Dia ingin membuat mamanya melepas
kepergiannya dengan tersenyum.
Tapi
mama malah jatuh sakit, sehari sebelum jadwal perjalanan panjangnya dimulai.
Gain
bimbang, haruskah dia pergi sedang mamanya ringkih di atas pembaringan?
Mbak hidayati, ini setting nya dimana sih? rada bingung. kalau dari dialognya sih barat banget. rada aneh sih ada kata merantau disini. lokal bgt
ReplyDeletehehe.. masih chapter 1 sih mbak, tapi emang saya masih beginner, jadi maklum kalo bikin bingung.. hehe..
ReplyDeletethanks komentarnya mbak. akan saya edit lagi nanti