Tuesday, 15 March 2016

Vonis Kematian (2)




Moment melahirkan selalu memiliki rasa berjuta-juta yang tidak dapat digambarkan.
Kupikir persalinanku kali ini akan serba mudah.
Kupikir aku tak perlu senam perasaan karena operasi cesar sudah pernah kualami sebelumnya saat melahirkan si sulung.


Tapi, seperti aku dulu yang pernah kecele dan harus menata perasaan di detik-detik akhir, karena sudah persiapan mental melahirkan normal ternyata harus menjalani operasi, sekarang pun aku harus memenej perasaan akibat vonis kematian yang memporandakan hati itu.

Esoknya aku mulai masuk ruangan inap. Suami mengurus keperluan persiapan operasiku. Dari tetek bengek administrasi hingga mencari 4 relawan donor darah buat persediaan pasca operasi.

Hatiku sudah mulai tenang, setelah semua persiapan fisik dan mental yang kusiapkan di rumah. Aku mulai berkenalan dengan ruangan yang akan kutinggali hingga 3 hari ke depan ini ( jika Allah mengizinkan). Berkenalan dengan perawat, ngobrol dengan sesama ibu hamil yang sama-sama akan menjalani cesar, meringankan gundahku.

Mushaf kecilku tak kubiarkan jauh dari jangkauan. Membaca Quran membuat perasaanku yang labil jadi tertata.

Malam sebelum hari operasi, aku terus tilawah karena mataku tak kunjung mengantuk. Hatiku mulai pasrah, sekaligus yakin. Aku yakin Allah selalu pilihkan yang terbaik. Aku perbanyak berdoa agar diberi umur panjang dan manfaat. Aku berjanji jika diberikan usia lebih panjang aku akan lebih banyak mengingat dan membaca al Quran. Aku juga bernadzar akan lebih banyak berinfak jika Allah memberikan keselamatan dan kesehatan padaku dan bayiku.

Adzan shubuh menggema dari masjid rumah sakit saat aku membuka mata. Meski jadwal operasi masih jam 8, setelah shubuh aku sudah diharuskan menata diri.

Jam 8.00 tepat, aku didorong menuju ruang operasi. Ah, buat apa ambil pusing soal waktu. Yang penting selamat.

Jam 08.30, aku sudah dimasukkan bilik tunggu di ruang bedah. Dengan posisi telentang di atas matras dorong sempit dan berseragam pasien operasi.

Jam 08.45, sekilas kudengar suara dokter yang hendak mengoperasiku menerima telepon dan mengiyakan janjian keluar dengan seseorang. “Lho kok???”

Aku yang siap dioperasi ditinggal oleh dokter. Entah urusan sepenting apa. Ya Rabby.. ‘nahan diri biar gak nangis’.

Karena lama, gak sabar aku bertanya pada perawat. Tapi jawaban mereka enteng banget, dokternya lagi keluar.

“Lho, bukannya duluan saya ngantrinya?” protesku memelas di atas matras dorong. “ ditunggu saja ya mbak” jawabnya. Ya Rabb, ujianmu datang lagi.

Jam 09.00. dokter belum datang.
Jam 09.30, belum datang juga. Mataku kupicing-picingkan menengok jam dinding. Setiap bertanya, jawabannya sama.
jam 10.00, aku bertanya lagi, sama. 

Aku tak tahan. Aku tak tahan!!!
Aku tak tahan dengan posisi seperti ini, dilintasi para perawat ruang bedah yang mendorong pasien-pasien baru untuk dieksekusi. Semntara aku dibiarkan tanpa dilirik sama sekali.

Jam 11.00. aku sudah tak kuat lagi. Aku menangis. Bahkan kubuat-buat supaya rintihanku terdengar.
Beberapa perawat mengaku sudah menelpon dokter yang dijadwalkan membedahku tapi tak direspon. 

Kenapa tak diganti dokter lainnya saja? ada banyak dokter bedah kan?protesku sambil merintih.
Tapi jawabannya membuatku sakit hati. “ibu sudah dijadwalkan dengan dokter ini bu, kalau ganti dokter nanti urusannya akan rumit. 

Aku sebal mendengar kata ‘rumit’. Maksudnya tentu saja pelimpahan honor ke dokter pengganti. Ya Rabb tolong bantu aku.

Aku lanjutkan merintih. 

Lebih karena sakit hati dari nyeri di pinggang seperti yang dirasakan perempuan yang hendak melahirkan.
Karena tak tahan mendengar keluhanku mereka menawarkan, “Ibu mau kembali ke ruangan atau menunggu disini? Kalau tidak nyaman disini ibu bisa kembali ke ruangan. Kalau dokter datang nanti kami kabari.”

Oh My GOD!!! Tuhan TOLONGGG!!!

Aku sebel bin mangkel. Disini jelas tidak nyaman. Tapi kembali ke ruangan berarti mengulang semua proses dari awal. Kepalang tanggung. Aku coba menawar, “saya mau tetap disini tapi suami saya diijinkan masuk”

“tidak bisa bu, ini ruang steril” 

Aku melanjutkan rintihan. Entah mereka kasihan atau mungkin capek mendengar, akhirnya suamiku masuk berseragam ruang bedah.

Sayang...” tangisku pecah ketika dia mendekat. Kutumpahkan segala kesal

“Sabar sayang, sabar... tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa ijin Allah. Bahkan saat ini. Mungkin dengan diberikan ujian seperti ini sekarang, Allah sedang menyiapkan kebahagiaan berlimpah-limpah pada kita.”

Tangisku perlahan reda. Benar, semua yang dikatakannya masuk akal. Siapa tahu ini pengganti ujian yang lebih berat?

“ikhlas ya sayang... Allah akan memberikan kita kebahagiaan luar biasa setelah ini!” bisiknya. Aku tetap menangis. Haru dengan ucapannya.

Baiklah aku akan sabar, aku akan ikhlas ya Rabb.
 
Belum sampai berlama-lama suamiku menemani. Seorang datang meminta ijin dan mendorongku. “dokternya sudah datang bu” katanya singkat.

Aku didorong dengan tatapan dan doa suami.

‘saatnya tiba’. BISMILLAH

Lampu-lampu dinyalankan. Mesin dan pealatan disiapkan. Aku tak sempat merasakan sakitnya suntikan bius di punggungku.

Tiba-tiba semua orang di ruangan itu sudah merubungiku yang mati rasa. Tapi aku dengar semua percakapan mereka. Dan aku dengar suara yang kunanti-nantikan sepanjang sembilan bulan ini. Suara itu. Suara yang mampu membuat semua perasaan sedihku sirna seketika. Suara bayiku.

Owe..we.. we.. Owe.. Owe…

MasyaAllah!” aku berteriak dalam setengah sadarku. Aku bahkan tak terlalu menyimak ketika perawat berkata “perempuan bu! Sehat! Komplit! Aku terlalu bahagia.

Entah berapa jam kemudian setelah bangun dari pingsan, aku mendapati diriku. Ini jelas bukan ruang operasi lagi. Lebih nyaman, bersih, dan bersahabat.

Kuraba seluruh tubuhku.
Ya Rabbi, engkau masih mengijinkanku hidup.

12 comments:

  1. teringatkan...

    hidup...

    lalu...

    ...

    apa ceritanya masih lanjut?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lalu aku masih di sini, mas Aidy.
      Sebenarnya ada kelanjutannya, baby blues. Tp di kholaskan dsni saja dulu

      Delete
  2. Perjuangan seorang ibu luar biasa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah mbak Irma. Setiap ibu paati punya kisah luar biasa

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  3. Kesabaran berbuah manis, alhamdulillah berasa kyk sy yg mau lahiran. Ngilu hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Klo saya pikir melahirkan itu adalah proses uji mental yg dihadiahkan Allah agar perempuan lbih siap jd seorang ibu

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  4. Melahirkan. Wow. Menakutkan :')

    ReplyDelete
  5. Nggak menakutkan kok mbak. Ini anugerah luar biasa. Mbak Sri akan merasakan nano-nanonya nanti klo sudah saatnya :))

    ReplyDelete
  6. Masyaallah jadi ingin nangis. Luar biasa karunia Allah padamu Mba.

    ReplyDelete