Note: jujur saya tak pede memposting ini. Ini semacam eksekusi gak jelas dari outline yang selama ini membayangi hari-hari saya. Judulnya pun masih saya pikir2. Semakin saya tak fokus, semakin dia tak akan selesai. Maka dari pada saya ngglambyar nulis kemana-mana dan mengabaikan ini, saya mau coba menyelesaikannya. Apapun bentuknya, pasti akan lebih baik setelah dicubit, digigit, diremas-remas, dan diberi banyak saran oleh sekalian ODOPERs.
But remember, ini genrenya Romance ( tak berani mengimbuhinya Islami, karena saya tak suka blak-blakan berdalil). Kalo kawan tak suka genre ini, bolehlah diabaikan. Atau kalo kawan prefernya ke action atau horor atau sains-fiction tapi tetep mau membacanya dengan suka hati dan memberi banyak masukan, maka saya akan doakan semoga kita nanti masuk surga sama-sama. Aamiiin.
#1 Awal
I
can't stand to fly
I'm not that naïve
I'm just out to find
The better part of me
I'm not that naïve
I'm just out to find
The better part of me
I'm
more than a bird,
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
It's not easy to be me
I wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
'Bout a home I'll never see
Bait-bait lagu terus mengalir dari handphone mahal di tangannya. Headphone mini menyumpal telinga, mengusir gulana yang melandanya.
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
It's not easy to be me
I wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
'Bout a home I'll never see
Bait-bait lagu terus mengalir dari handphone mahal di tangannya. Headphone mini menyumpal telinga, mengusir gulana yang melandanya.
Di balik jendela
kereta yang ditumpanginya, hamparan alam menari. Sawah hijau, pekampungan
kumuh, kumpulan anak kecil bermain. Dari wajah lugu dan tawa renyahnya, Gain
menduga mereka belum kenal keajaiban benda bernama gadget, sebagaimana setiap
anak belia di ibukota. Benda kecil yang menggiring para penerus negeri di
ambang jurang neraka. Anehnya, para orangtua tak pernah gusar dengan nasib
mereka. Menutupi ketidakbecusannya menyisihkan waktu terbaik, uang dan barang
mahal menjadi sogokan terbaik agar anak-anak tak merengek, menjadi pegganggu
pekerjaan orangtua.
Dia membayangkan
adegan klise pembuka film holiwood tentang seorang yang hendak berkelana jauh.
Dan itulah dirinya saat ini.
Protesnya yang
selama ini diredam sendiri, telah melewati batas toleransi. Bom waktu meledak, melukai
2 orang yang mengurusi segala hajat hidupnya sejak balita.
Mengingat
kejadian itu Gain kembali melankolic. Tampak di pelupuk matanya, mama menangis.
Tersedu menghadapi raungannya sore itu. Namun setelah semuanya membungkus satu
sepakat, kini malah gelisah hatinya yang mengganggu.
Ragunya timbul
tenggelam sejak melangkahkan kaki dari istana yang telah menaunginya 17 tahun
lamanya. Dan berkali-kali dia meyakinkan diri. Inilah awal. Dia ingin menjadi
manusia seutuhnya. Bukan robot. Bukan superman.
Mengintip
pemandangan sore dari balik jendela kereta cukup menghiburnya. Tapi begitu sinar mentari harus melanjutkan perjalanan di
belahan bumi lainnya, segala pemandangan itu sirna. Seperti pagelaran teater
yang habis, layar ditutup, penonton pulang.
Lagi, hatinya
mengembara dalam lirik-lirik nada.
It
may sound absurd
But
don’t be naïve,
Even
heroes have the right to bleed
It’s
not easy to be me
Up
up and away away from me
Well,
it’s alright
You
can all sleep sound tonight
I’m
not crazy or anything
I’m
only a man in a funny red sheet
Looking
for special thing inside of me
I’m
only a man in a funny red sheet
I’m
only a man looking for a dream
Gain bosan
menjadi pahlawan. Selalu dielu-elukan, namun tak pernah merasa tulus dicintai. Setiap
orang mendekatinya hanya untuk memamerkan mereka mampu berkawan dengan anak
konglomerat. Semua manis di hadapannya. Namun entah apa yang digunjingkan di
belakangnya. Keluarganya sendiri tak beda. Mama terutama. Dia benci, kepatuhan
dan prestasinya acapkali menjadi pameran di hadapan kawan-kawan mamanya. Dan
sore itu puncaknya.
“Ini foto Gain
ya, Bu Anhar? Aduh ganteng banget!” seru perempuan di balik pintu. Gain tak jadi
masuk. Sepertinya para isteri petinggi Grand Group Company sedang berkumpul.
Agenda itu mereka sebut keakraban dan silaturrahim. Padahal menurutnya, nihil.
Isinya hanya pamer harta dan kebanggaan dunia.
“Bagaimana sih
bu Anhar bisa mendidik putra sampai hebat begini?” perempuan dengan suara
berbeda menyela.
“Sudah ganteng,
pinter, nurut, hadeuuuh.. sepertinya saya cuma ngayal untuk bisa punya menantu
macam Gain” yang ini suaranya jelas menjilat.
“sama saya aja
dong jeng besanannya! Rika kan juga cantik, pinter, kemaren baru jadi mayoret
terbaik. Dia pengen banget sam Gain. Kalo Gain nggak mau ngomong dulu, dia
nembak juga gak papa, hihihik” Huek, Gain kepengen muntah.
Drama dimulai. Semua
suara berebut cerita kehebatan anak gadisnya. Kalo saja tak penting sekali
alasan untuk bertemu mama, pasti dia sudah kabur dari tadi.
“eh, ibu-ibu!
jangan mimpi tinggi-tinggi nanti kecewa! Masa pewaris perusahaan seperti mas
gain belum ada calonnya? Saya nggak percaya! Pasti sudah disiapkan, ya kan bu
Anhar?”
Semuanya gila!!
Gila! Gila!
“ya bu, sudah”
mamanya yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara. Singkat. Tapi, what??? SERIUS???
“Eh siapa bu?
Anaknya pengusaha mana? Pasti cantik dan selevel sama Gain kan? Kalo tidak ya…
mending sama anak saya saja” Suara Mama Rika terdengar emosi. Yang lain
mengiyakan. Kemudian menuntut jawaban. Mama seperti terjebak oleh jawabannya
sendiri. Sekejap senyap. Setiap orang di
dalam ruangan menanti jawaban. Gain dari balik pintu pun mulai termakan
suasana. Dia ingin mendengar rencana nasib yang ditulis mama untuknya, yang dia
sendiri tak pernah dengar sebelumnya.
“ya, begitulah.
Anaknya cantik dan pintar. Dia putri dari kolega kami.” Semua orang takjub
mendengar. Sementara Gain tak tahu bagaimana mengatakan nama rasa pada hatinya.
Kesal, marah, jengkel, benci.
Seingatnya,
sejak kecil mamanya selalu mengatur hidupnya. Tak pernah dia merasa dihargai
untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Dulu ketika masih kecil, baginya tak
masalah. Memilih SD, SMP, SMA, dia masih bersabar orang tuanya menjadi manajer
kehidupannya. Tapi ini jodoh! Like
seriously, JODOH!!! Atau karena itukah mama-papa melarangnya pacaran?
Karena dia hanya boleh mencintai orang yang dipilhkan untuknya? Arggghhhh!!!!
Di luar
kendalinya, pintu yang sedari tadi menopang badannya terbuka. Cukup keras untuk
seorang yang selalu santun seperti dirinya.
“Gain!!” mama
kaget. Mama tahu arti mimic wajahnya. Beberapa nyonya menyapanya manis, tapi
yang tampak di hadapannya hanya mama dengan wajah kaget dan khawatirnya.
--- bersambung
Lg nunggu terusannya.. :) #sambil gelar tiker
ReplyDeleteJjiah... hobinya gelar tiker :))
ReplyDeleteSeru nih, ceritanya mba. Ikutan duduk di tiker ah, nunggu kelanjutan ceritanya. Hehe...
ReplyDelete