Saturday, 5 March 2016

Dewi: #1 part 1



 Note: jujur saya tak pede memposting ini. Ini semacam eksekusi gak jelas dari outline yang selama ini membayangi hari-hari saya. Judulnya pun masih saya pikir2. Semakin saya tak fokus, semakin dia tak akan selesai. Maka dari pada saya ngglambyar nulis kemana-mana dan mengabaikan ini, saya mau coba menyelesaikannya. Apapun bentuknya, pasti akan lebih baik setelah dicubit, digigit, diremas-remas, dan diberi banyak saran oleh sekalian ODOPERs. 

But remember, ini genrenya Romance ( tak berani mengimbuhinya Islami, karena saya tak suka blak-blakan berdalil). Kalo kawan tak suka genre ini, bolehlah diabaikan. Atau kalo kawan prefernya ke action atau horor atau sains-fiction tapi tetep mau membacanya dengan suka hati dan memberi banyak masukan, maka saya akan doakan semoga kita nanti masuk surga sama-sama. Aamiiin. 


#1 Awal


I can't stand to fly
I'm not that naïve
I'm just out to find
The better part of me

I'm more than a bird,
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
It's not easy to be me

I wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
'Bout a home I'll never see

Bait-bait lagu terus mengalir dari handphone mahal di tangannya. Headphone mini menyumpal telinga, mengusir  gulana yang melandanya.
Di balik jendela kereta yang ditumpanginya, hamparan alam menari. Sawah hijau, pekampungan kumuh, kumpulan anak kecil bermain. Dari wajah lugu dan tawa renyahnya, Gain menduga mereka belum kenal keajaiban benda bernama gadget, sebagaimana setiap anak belia di ibukota. Benda kecil yang menggiring para penerus negeri di ambang jurang neraka. Anehnya, para orangtua tak pernah gusar dengan nasib mereka. Menutupi ketidakbecusannya menyisihkan waktu terbaik, uang dan barang mahal menjadi sogokan terbaik agar anak-anak tak merengek, menjadi pegganggu pekerjaan orangtua.

Dia membayangkan adegan klise pembuka film holiwood tentang seorang yang hendak berkelana jauh. Dan itulah dirinya saat ini.
Protesnya yang selama ini diredam sendiri, telah melewati batas toleransi. Bom waktu meledak, melukai 2 orang yang mengurusi segala hajat hidupnya sejak balita.

Mengingat kejadian itu Gain kembali melankolic. Tampak di pelupuk matanya, mama menangis. Tersedu menghadapi raungannya sore itu. Namun setelah semuanya membungkus satu sepakat, kini malah gelisah hatinya yang mengganggu.

Ragunya timbul tenggelam sejak melangkahkan kaki dari istana yang telah menaunginya 17 tahun lamanya. Dan berkali-kali dia meyakinkan diri. Inilah awal. Dia ingin menjadi manusia seutuhnya. Bukan robot. Bukan superman.

Mengintip pemandangan sore dari balik jendela kereta cukup menghiburnya. Tapi begitu sinar  mentari harus melanjutkan perjalanan di belahan bumi lainnya, segala pemandangan itu sirna. Seperti pagelaran teater yang habis, layar ditutup, penonton pulang.

Lagi, hatinya mengembara dalam lirik-lirik nada.

It may sound absurd
But don’t be naïve,
Even heroes have the right to bleed
It’s not easy to be me

Up up and away away from me
Well, it’s alright
You can all sleep sound tonight
I’m not crazy or anything

I’m only a man in a funny red sheet
Looking for special thing inside of me
I’m only a man in a funny red sheet
I’m only a man looking for a dream

Gain bosan menjadi pahlawan. Selalu dielu-elukan, namun tak pernah merasa tulus dicintai. Setiap orang mendekatinya hanya untuk memamerkan mereka mampu berkawan dengan anak konglomerat. Semua manis di hadapannya. Namun entah apa yang digunjingkan di belakangnya. Keluarganya sendiri tak beda. Mama terutama. Dia benci, kepatuhan dan prestasinya acapkali menjadi pameran di hadapan kawan-kawan mamanya. Dan sore itu puncaknya. 


“Ini foto Gain ya, Bu Anhar? Aduh ganteng banget!” seru perempuan di balik pintu. Gain tak jadi masuk. Sepertinya para isteri petinggi Grand Group Company sedang berkumpul. Agenda itu mereka sebut keakraban dan silaturrahim. Padahal menurutnya, nihil. Isinya hanya pamer harta dan kebanggaan dunia.

“Bagaimana sih bu Anhar bisa mendidik putra sampai hebat begini?” perempuan dengan suara berbeda menyela.

“Sudah ganteng, pinter, nurut, hadeuuuh.. sepertinya saya cuma ngayal untuk bisa punya menantu macam Gain” yang ini suaranya jelas menjilat.

“sama saya aja dong jeng besanannya! Rika kan juga cantik, pinter, kemaren baru jadi mayoret terbaik. Dia pengen banget sam Gain. Kalo Gain nggak mau ngomong dulu, dia nembak juga gak papa, hihihik” Huek, Gain kepengen muntah.

Drama dimulai. Semua suara berebut cerita kehebatan anak gadisnya. Kalo saja tak penting sekali alasan untuk bertemu mama, pasti dia sudah kabur dari tadi.

“eh, ibu-ibu! jangan mimpi tinggi-tinggi nanti kecewa! Masa pewaris perusahaan seperti mas gain belum ada calonnya? Saya nggak percaya! Pasti sudah disiapkan, ya kan bu Anhar?”

Semuanya gila!! Gila! Gila!

“ya bu, sudah” mamanya yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara. Singkat. Tapi, what??? SERIUS???
“Eh siapa bu? Anaknya pengusaha mana? Pasti cantik dan selevel sama Gain kan? Kalo tidak ya… mending sama anak saya saja” Suara Mama Rika terdengar emosi. Yang lain mengiyakan. Kemudian menuntut jawaban. Mama seperti terjebak oleh jawabannya sendiri.  Sekejap senyap. Setiap orang di dalam ruangan menanti jawaban. Gain dari balik pintu pun mulai termakan suasana. Dia ingin mendengar rencana nasib yang ditulis mama untuknya, yang dia sendiri tak pernah dengar sebelumnya.

“ya, begitulah. Anaknya cantik dan pintar. Dia putri dari kolega kami.” Semua orang takjub mendengar. Sementara Gain tak tahu bagaimana mengatakan nama rasa pada hatinya. Kesal, marah, jengkel, benci.

Seingatnya, sejak kecil mamanya selalu mengatur hidupnya. Tak pernah dia merasa dihargai untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Dulu ketika masih kecil, baginya tak masalah. Memilih SD, SMP, SMA, dia masih bersabar orang tuanya menjadi manajer kehidupannya. Tapi ini jodoh! Like seriously, JODOH!!! Atau karena itukah mama-papa melarangnya pacaran? Karena dia hanya boleh mencintai orang yang dipilhkan untuknya? Arggghhhh!!!!

Di luar kendalinya, pintu yang sedari tadi menopang badannya terbuka. Cukup keras untuk seorang yang selalu santun seperti dirinya.
“Gain!!” mama kaget. Mama tahu arti mimic wajahnya. Beberapa nyonya menyapanya manis, tapi yang tampak di hadapannya hanya mama dengan wajah kaget dan khawatirnya.
 


--- bersambung

3 comments:

  1. Lg nunggu terusannya.. :) #sambil gelar tiker

    ReplyDelete
  2. Jjiah... hobinya gelar tiker :))

    ReplyDelete
  3. Seru nih, ceritanya mba. Ikutan duduk di tiker ah, nunggu kelanjutan ceritanya. Hehe...

    ReplyDelete