Thursday 9 March 2017

Vonis Kematian


Kawan, apa yang akan kau rasakan, seandainya dokter menjatuhkan vonis kematian?

Dulu aku mengira hal seperti ini hanya terjadi di televisi. Tapi hari itu, seorang dokter mengatakan hal tersebut, khusus untukku, saat memeriksakan kondisi kehamilan yang berusia tepat 9 bulan.



“ibu, dan bapak harus tahu, kelahiran ini beresiko. Kondisi ari-ari di bawah, besar kemungkinan menyebabkan perlengketan dan perdarahan.” Aku masih belum ON untuk mencerna ucapan bu dokter cantik itu, tapi dia sudah menambahi,

“Resikonya bisa pengangkatan rahim, yang berujung pada perdarahan hebat. Dan hal  terburuknya, bisa mengakibatkan kematian”

What??? Mati?? Siapa? Aku???

Hatiku jumpalitan mendengar vonis dokter yang pasiennya bejibun itu. Meski diucapkan selooww banget, setenang dan sewajar sedang mengabarkan berita tak penting seperti ‘saya sedang bernafas’.

“maaf, saya katakan ini sejujurnya” katanya lagi penuh percaya diri.

Oh dok, taukah anda??? kejujuran itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Huhuhuhu....Tangisan saya langsung seember, tapi cuma dalam hati.

Sepanjang perjalanan pulang, hatiku bermonolog tak menentu.

‘Ya Rabb, jika memang ini akhir usiaku tolong jagalah anak dan keluargaku.

Tapi jika ini memang sudah kehendak Tuhan, kenapa aku harus menghawatirkn keluargaku? Tuhan pasti menjaganya karena Tuhan selalu memiliki rencana terbaik.
Bukankah aku justru harus menghawatirkan diriku sendiri? Cukupkah amalan-amalanku untuk menghadapNya?’

batinku nelangsa

‘meninggal saat melahirkan, bukankah itu mati syahid? Dan mati dalam kondisi syahid, bukankah itu cita-cita setiap muslim? Ya, akupun menginginkannya. Tapi... ya Tuhan, seandainya kau ijinkan aku merawat dan memberikan ASI pada anakku...’

pikiranku berkelana kemana-mana. Sedih, pasrah, menguatkan diri, campur aduk jadi satu.

“Kita ke bidan sekarang?” suara suami mengejutkan lamunan melow-ku. Perasaan yang tak menentu membuatku mengabaikannya sejak keluar dari klinik dokter kandungan tadi.

Setelah mengiyakan pertanyaannya, aku beranikan diri mendengar pendapatnya,

“Sayang, bagaimana pendapatmu soal ucapan dokter tadi?” dag-dig-dug aku menanti jawabannya bahkan sebelum pertanyaan usai kulontar.

“Dokter itu cuma bisa prediksi, bukan menentukan nasib. Gak usah dipikir nemen-nemen ya..” Ooh.. surprise aku mendengarnya. Jauh dari perasaanku yang acakadul. Dia sangat tenang dan bijak.

Kupikir-pikir, betul kata suamiku. Cuma prediksi dokter saja, kenapa harus khawatir?
Soal mati bukankah semua orang akan mati? Lagipula semua perempuan melahirkan pasti punya resiko mengalami kematian. Dan matinya, tentu mati yang mulia.

Sejenak kalimatnya tadi menenangkanku. Dia terus mengajakku bicara topik lain. Tentu agar aku tak mengingat vonis yang menghantui tadi.

Sampai di klinik bidan, kami mengurus rujukan persalinan agar segera bisa memulai rawat inap, pemeriksaan ini itu hingga akhirnya siap menjalani operasi caesar.

Berbekal hasil pemeriksaan dari dokter tadi, bidan langgananku yang ramah ini membuatkan surat rujukan dan menulis dengan detail kondisi kehamilanku.

Plasenta previa, Letsu.(Ari-ari di bawah, letak bayi sungsang)

“Ah nggak papa, mau letak sungsang atau tidak, kalau operasi Insyaallah nggak ada masalah. Bayinya mulus, kepalanya aman karena nggak perlu mengejan” komentarnya sambil menulis, dengan senyum tulus yang sangat riang. Bidanku ini terkenal suka memotivasi. Aku yang mendengar komentarnya berusaha menyunggingkan senyum terpaksa yang mungkin aneh untuk dilihat.


Sebelum keluar dari klinik, beliau menambahkan lagi, “kalau sudah lahiran, kabari ya... Insya Allah saya sempatkan mampir menjenguk di rumah sakit” dan dengan senyum optimal di wajahnya, tangan beliau mengelus perutku dan berkata” sampai ketemu dedek bayi”


Di perjalanan dari klinik bidan, aku melamun lagi.
‘Satunya dokter kandungan, satunya bidan. Dua-duanya tahu seperti apa kondisiku.
Satunya memperingatkan tentang resiko kematian. Satunya memberikan optimisme dan imajinasi indah tentang kelahiran janin di perutku.

Paradigma.
Aku ingat, kesedihan, kekhawatiran, kegelisahan, semuanya hanya tentang apa yang kita pikirkan. Aku ulang-ulang ucapan suamiku dalam hati. Dokter cuma bisa memprediksi, tidak menentukan nasib.

Aku mengingatkan diriku pada sebuah hadis bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati. Berarti aku ini tidak cerdas ya?
Huhuhu… jadi introspeksi.

Ada atau tidaknya vonis itu seharusnya manusia memang harus mengingat mati. Kenapa kita harus takut mengingat mati? Dan kenapa aku justru takut diingatkan pada kematian?

Sejujurnya, karena aku belum yakin amalanku ini cukup untuk melewati titian menuju Istana abadi. Huhuhu… mewek lagi.

Sampai di rumah, sambil menyiapkan segala keperluan rawat inap esok paginya, aku perbanyak istighfar, dzikir dan tilawah. Aku lakukan shalat taubat, sholat tasbih, sholat hajat. Aku panjatkan doa dalam tangisan yang berlinang-linang agar Allah mengampuni segala kesalahanku dan seluruh keluargaku, serta memberikan kepada kami sekeluarga umur yang panjang dan barokah. Aku memohon maaf dan doa dari ibu dan saudara-saudaraku. Aku habiskan sepanjang malam itu membaca Quran.

Jadi teringat sebuah ucapan, “bahkan jika waktu kita tinggal sedikit, kita harus tetap lakukan yang terbaik.” Ah mengingat kalimat itu membuat air mataku berderai lagi.

Moment melahirkan selalu memiliki rasa berjuta-juta yang tidak dapat digambarkan.
Kupikir persalinanku kali ini akan serba mudah.
Kupikir aku tak perlu senam perasaan karena operasi cesar sudah pernah kualami sebelumnya saat melahirkan si sulung.


Tapi, seperti aku dulu yang pernah kecele dan harus menata perasaan di detik-detik akhir, karena sudah persiapan mental melahirkan normal ternyata harus menjalani operasi, sekarang pun aku harus mengatur perasaan akibat vonis kematian yang memporandakan hati itu.

Esoknya aku mulai masuk ruangan inap. Suami mengurus keperluan persiapan operasiku. Dari tetek bengek administrasi hingga mencari 4 relawan donor darah buat persediaan pasca operasi.

Hatiku sudah mulai tenang, setelah semua persiapan fisik dan mental yang kusiapkan di rumah. Aku mulai berkenalan dengan ruangan yang akan kutinggali hingga 3 hari ke depan ini ( jika Allah mengizinkan). Berkenalan dengan perawat, ngobrol dengan sesama ibu hamil yang sama-sama akan menjalani cesar, meringankan gundahku.

Mushaf kecilku tak kubiarkan jauh dari jangkauan. Membaca Quran membuat perasaanku yang labil jadi tertata.

Malam sebelum hari operasi, aku terus tilawah karena mataku tak kunjung mengantuk. Hatiku mulai pasrah, sekaligus yakin. Aku yakin Allah selalu pilihkan yang terbaik. Aku perbanyak berdoa agar diberi umur panjang dan manfaat. Aku berjanji jika diberikan usia lebih panjang aku akan lebih banyak mengingat dan membaca al Quran. Aku juga bernadzar akan lebih banyak berinfak jika Allah memberikan keselamatan dan kesehatan padaku dan bayiku.

Adzan shubuh menggema dari masjid rumah sakit saat aku membuka mata. Meski jadwal operasi masih jam 8, setelah shubuh aku sudah diharuskan menata diri.

Jam 8.00 tepat, aku didorong menuju ruang operasi. Ah, buat apa ambil pusing soal waktu. Yang penting selamat.

Jam 08.30, aku sudah dimasukkan bilik tunggu di ruang bedah. Dengan posisi telentang di atas matras dorong sempit dan berseragam pasien operasi.

Jam 08.45, sekilas kudengar suara dokter yang hendak mengoperasiku menerima telepon dan mengiyakan janjian keluar dengan seseorang. “Lho kok???”

Aku yang siap dioperasi ditinggal oleh dokter. Entah urusan sepenting apa. Ya Rabby.. ‘nahan diri biar gak nangis’.

Karena lama, gak sabar aku bertanya pada perawat. Tapi jawaban mereka enteng banget, ‘dokternya lagi keluar’.

“Lho, bukannya duluan saya ngantrinya?” protesku memelas di atas matras dorong. “ ditunggu saja ya mbak” jawabnya. Ya Rabb, ujianmu datang lagi.

Jam 09.00. dokter belum datang.
Jam 09.30, belum datang juga. Mataku kupicing-picingkan menengok jam dinding. Setiap bertanya, jawabannya sama.
jam 10.00, aku bertanya lagi, sama.

Aku tak tahan. Aku tak tahan!!!
Aku tak tahan dengan posisi seperti ini, dilintasi para perawat ruang bedah yang mendorong pasien-pasien baru untuk dieksekusi. Semntara aku dibiarkan tanpa dilirik sama sekali.

Jam 11.00. aku sudah tak kuat lagi. Aku menangis. Bahkan kubuat-buat supaya rintihanku terdengar.
Beberapa perawat mengaku sudah menelpon dokter yang dijadwalkan membedahku tapi tak direspon.

“Kenapa tak diganti dokter lainnya saja? ada banyak dokter bedah kan?” protesku sambil merintih.
Tapi jawabannya membuatku sakit hati. “ibu sudah dijadwalkan dengan dokter ini bu, kalau ganti dokter nanti urusannya akan rumit.

Aku sebal mendengar kata ‘rumit’. Maksudnya tentu saja pelimpahan honor ke dokter pengganti. Ya Rabb tolong bantu aku.

Aku lanjutkan merintih.

Lebih karena sakit hati dari nyeri di pinggang seperti yang dirasakan perempuan yang hendak melahirkan.
Karena tak tahan mendengar keluhanku mereka menawarkan, “Ibu mau kembali ke ruangan atau menunggu disini? Kalau tidak nyaman disini ibu bisa kembali ke ruangan. Kalau dokter datang nanti kami kabari.”

Tuhan TOLONGGG!!!

Sebelku sampai ke ubun-ubun. Di sini jelas tidak nyaman. Tapi kembali ke ruangan berarti mengulang semua proses dari awal. Kepalang tanggung. Aku coba menawar, “saya mau tetap disini tapi suami saya diijinkan masuk”

“tidak bisa bu, ini ruang steril”

Aku melanjutkan rintihan. Entah mereka kasihan atau mungkin capek mendengar, akhirnya suamiku masuk berseragam ruang bedah.

“Sayang...” tangisku pecah ketika dia mendekat. Kutumpahkan segala kesal.

“Sabar ya, sabar... tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa ijin Allah. Bahkan saat ini. Mungkin dengan diberikan ujian seperti ini sekarang, Allah sedang menyiapkan kebahagiaan berlimpah-limpah pada kita.”

Tangisku perlahan reda. Benar, semua yang dikatakannya masuk akal. Siapa tahu ini pengganti ujian yang lebih berat?

“lkhlas ya sayang... Allah akan memberikan kita kebahagiaan luar biasa setelah ini!” bisiknya. Aku tetap menangis. Haru dengan ucapannya.

Baiklah aku akan sabar, aku akan ikhlas ya Rabb.

Tak sampai berlama-lama suamiku menemani. Seorang datang meminta ijin dan mendorongku. “dokternya sudah datang bu” katanya singkat.

Aku didorong dengan tatapan dan doa suami.

‘saatnya tiba’. BISMILLAH.

Lampu-lampu dinyalakan. Mesin dan peralatan disiapkan. Aku tak sempat merasakan sakitnya suntikan bius di punggungku.

Tiba-tiba semua orang di ruangan itu sudah merubungiku yang mati rasa. Tapi aku dengar semua percakapan mereka. Dan aku dengar suara yang kunanti-nantikan sepanjang sembilan bulan ini. Suara itu. Suara yang mampu membuat semua perasaan sedihku sirna seketika. Suara bayiku.

Owe..we.. we.. Owe.. Owe…

“MasyaAllah!” aku berteriak dalam setengah sadarku. Aku bahkan tak terlalu menyimak ketika perawat berkata “perempuan bu! Sehat! Komplit! Aku terlalu bahagia.

Entah berapa jam kemudian setelah bangun dari pingsan, aku mendapati diriku. Ini jelas bukan ruang operasi lagi. Lebih nyaman, bersih, dan bersahabat.

Kuraba seluruh tubuhku.
Ya Rabbi, engkau masih mengijinkanku hidup.

4 comments:

  1. Aku nangis bacanya mbak hiday... Alhamdulillah semua indah hingga saat ini..

    ReplyDelete
  2. Hiks hiks....sedih banget bacanya

    ReplyDelete
  3. Kaya rolee coster, mba Hiday sukses membuatku sedihh bertubi2, huhuuu.. terus cekikikan dalam sedih.. sedih lagi cekikikan lagi, dengan ending yang sangat menyentuh, hiks..hikss.. makasih sekali atas cerita hebatnya mba... ini sungguh2 luar biasa.

    ReplyDelete
  4. Jadi ingat betapa lucunya aisyah, cerewetnya, dan sok dewasanya, padahal dibalik itu semua, ada cerita yang mengharukan, sungguh pembelajaran yang luar biasa, untuk tetap yakin bahwa Allahlah penentu takdir, bukan manusia..

    ReplyDelete