Friday 29 January 2016

Donor Darah, why not??

Kapan ya terakhir saya mendonorkan darah? pikir-pikir-pikir, ternyata sudah lama, tahun 2008. Dan karena

pengalaman donor terakhir 6 tahun lalu yang kurang menyenangkan, saya belum antusias donor darah lagi. Seolah semua perjuangan saya untuk menjadi donor darah bertahun lalu jadi pupus karena kenangan buruk itu.

Benar, saya butuh cukup usaha untuk berhasil mendapat predikat menjadi pendonor. Sejak SMA saya sudah ngebet mendonor darah. Beberapa kali sekolah saya ditempati PMI untuk donor darah keliling. Dan saya harus sadar diri sebelum memeriksakan ini itu karena saya punya alasan utama untuk ditolak mendonorkan darah, berat badan kurang, dan belum cukup umur.


Saat kuliah, saya bergabung di volunteer corps Palang Merah Indonesia. Disini, Donor darah adalah kata yang sering muncul sesering kita bernafas. Setiap markas KSR PMI adalah rujukan rumah sakit mencari pendonor jika blood bank PMI tidak memiliki simpanan darah yang dibutuhkan pasien. Dan hampir setiap hari, ada saja kebutuhan mencari donor yang mampir ke posko kami.

Meski demikian, sekalipun saya belum sekalipun berhasil menjadi pendonor, Karena, masih, berat badan saya kurang.

Saya khusus berikhtiar banyak makan agar mampu mendonor. Sampai di tahun ke-3, puaslah saya mendapati timbangan menunjukkan angka 45. Saya berseru senang dan bersiap jadi donor siaga. Di satu sore cerah yang menakjubkan, seorang dokter muda baik hati datang ke posko, mengabarkan pasiennya yang besok akan dioperasi membutuhkan beberapa kantong darah O. Saya menyambut gembira, bersama beberapa teman kami lalu diantar menuju Unit Tranfusi Darah (UTD) terdekat, dimana sebelumnya kami ditraktir pak dokter makan siang di warung padang agar darah kami siap didonorkan. Sampai UTD, tak dinyana, petugas menyampaikan sambil tertawa, bahwa berat badan saya kurang. “Lho kan sudah 45?” protes saya. Dengan santai dijelaskannya, “45 itu plus berat pakaiannya mbak, mbak masih kurang besar buat mendonor” ih dongkol rasanya. Tidak hanya berat badan, Badan mungil saya  ikut2an kena target olok-olok.

Di tahun ke-4, akhirnya, berhasillah saya. Dalam sebuah event donor massal yang targetnya untuk mencetak rekor muri, saya tak hanya berpartisipasi sebagai panitia tapi pertama kalinya menjadi pendonor. Bagaimana rasanya? Wuuah…senang luar biasa.

Bukannya takut pada jarum tranfusi saya malah amati bagaimana darah saya mengalir menuju kantong kecil yang saya bayangkan, nanti, akan menjadi penyelamat bagi orang-orang baik yang benar-benar membutuhkan. Saya doakan darah saya “hi blood, semoga kamu jadi manfaat setelah keluar dari tubuhku, dan tubuhku jadi sehat setelah melepaskanmu, goodbye” ah, agak lebay ternyata.

Setelah 3 bulan, tak sabar mengulang pengalaman indah, saya mendaftar lagi jadi pendonor. Kali ini di moment kampanye donor darah yang saya prakarsai bersama teman2 Front Peduli Kemanusiaan dari berbagai kampus dan kota. Dan Alhamdulillah, itulah 2 kali pengalaman menjadi donor sebelum akhirnya lulus kuliah. Saya baru berkesempatan donor kembali setelah semua alasan yang masuk akal sebagai perempuan (menikah, hamil, dan punya anak). Dan itu menjadi donor terakhir saya sampai saat ini.

Menonton tonight show yang bertema blood for life, saya merenung, kenapa begitu mudah saya kapok mendonor, hanya karena petugas UTD saat itu kurang cekatan sehingga perlu 2 kali coblos untuk mencari pembuluh vena saya. Karena kesalahan teknis kecil seperti itu saya sampai lupa betapa banyak manfaat mendonor. Padahal jumlah relawan donor darah di Negara kita minim sangat. Belum lagi jika dilihat dari persebaran tempat tinggalnya, yang rata-rata hanya di kota besar. Belum lagi jika dilihat dari usianya. Saya ingat betul suatu saat ketika diminta mengikuti pertemuan Perhimpunan Donor Darah, ternyata cuma saya berdua dengan teman kampus saya yang berwajah imut. Selebihnya, bapak ibu yang sudah berkeluarga atau kakek nenek.

Well, malam ini saya ingin katakan pada diri saya sendiri, saya akan siap jadi pendonor lagi. Secepatnya setelah saya tak lagi berkewajiban memberi ASI pada si kecil Kazumi. Dan kepada kawan yang selama ini telah setia menjadi pendonor rutin, “salut kawan, lanjutkan dan rasakan!”

Kemudian, saya ingin katakan pada siapapun yang belum pernah donor darah dan sedang berniat mendonorkan darah, “please guys, jangan tunda-tunda. Rasakan perubahan hidupmu setelah mendonor darah. Fisik maupun mental!”

Dan terakhir saya ingin katakan pada yang belum pernah donor darah dan belum minat sama sekali untuk mencoba, “imagine guys! kalo kalian punya mobil yang sudah tua, sering mogok, lalu ada yang mau menukarnya cuma-cuma dengan mobil baru yang merknya masih gress, siapa yang nggak mau? itu pun masih belum pas rasanya untuk menganalogikan untungnya donor darah. Bayangkan, darah kita yang sudah tua akan tersedot keluar kemudian darah baru akan lahir memenuhi tubuh kita. Betapa segarnya badan kita. So, donor darah itu detoksifikasi paling ampuh, sedot lemak paling ampuh, dan perawatan kecantikan paling ampuh.

SalamDarah itu anugerah yang Tuhan kasih cuma-cuma, jadi darah adalah juga harta yang harusnya kita infakkan pada orang lain. Dalam darah kita ada hak darah orang lain yang membutuhkan. So, Come on people, all you need to do is going to PMI, dan katakan pada mbak/mas petugas UTD “mbak/mas, silakan ambil darah saya” nah, gampang kan, gratis, berhadiah, berpahala pula.

0 comments:

Post a Comment