Sunday 24 January 2016

Percaya Diri

Hanya orang yang tidak memiliki kepercayaan dirilah yang berani berbuat ketidakbaikan. Karena dia tidak memiliki percaya diri, dia berusaha menghilangkan kegelisahannya dengan berbuat kejahatan. Kepercayaan diri seseorang itu berbeda-beda. Dan kepercayaan diri yang baik akan membuat seseorang memandang dirinya baik dengan menghindari ketidakbaikan. Demikian kira-kira ungkapan Krishna dari taman nirwana, dalam satu episode dari serial Mahabharata.


Ungkapan bijak Bashudewa Krishna menghujam kuat di hati saya. Tentu saja, Mahabharata bukan kisah amatir yang memungkinkan quotes didalamnya ditulis oleh script-writer amatir untuk bisa kita pertentangkan benar salahnya. Saya sendiri teringat ulasan dalam buku test kepribadian tentang apa sebenarnya percaya diri. Orang yang memiliki percaya diri sesungguhnya adalah orang yang memiliki konsep diri yang matang. Tidak tergoyahkan oleh cacian orang, pun tak perlu pujian untuk melesatkan semangatnya, apalagi sampai memuji-muji diri sendiri. Bagi orang yang percaya diri, prinsipnya tentang baik dan buruk, benar dan salah, cukuplah memandunya untuk anti putus asa, bangun dari segala kekecewaan, dan straight ahead menjalankan visi kebaikan yang diperjuangkannya.

Epos Mahabharata sendiri, sudah tua sekali usianya. Namun sampai sekarang, masih sering kita temui kisah perjuangan Pandhawa melawan Kurawa ini, dijadikan sebagai inspirasi. Mengapa? Karena kontekstual dari kisah ini selalu ada di sekitar kita. Perampasan hak, penindasan mayoritas terhadap minoritas, dan pemusnahan, atau jika tidak, penggusuran terhadap kelompok kebaikan. Dan dari semua itu, selalu ada pengobar api layaknya Sengkuni pengadu domba.

 Lihat di sekitar kita. Jangankan di jagad Indonesia raya, di sekeliling tempat tinggal, di tempat kerja, di lingkungan terdekat kita, isu-isu seperti itu selalu ada. Manusia selain dibekali fitrah untuk menuju kedamaian hati, juga dilekati sifat cinta terhadap kerlap dunia, nikmatnya kedudukan untuk menguasai orang lain, menguasai pasangan, dan menguasai harta melimpah. Demikian juga dalam ilmu social, dikenal istilah id (jiwa yang merusak), ego (jiwa yang bernegoisasi) dan super ego (hati nurani yang ingin selalu berbuat baik). Karenanya Sigmund Freud berpendapat, akan selalu ada masalah dalam masyarakat. 

Di antara mereka, ada yang terang-terangan berbuat sambil tertawa. Merasa dirinya hebat karena mampu  menaklukkan orang lain. Merasa dirinya unggul karena mampu memiliki apa yang tak dimiliki orang lain. Tapi ada juga yang bekerja dari balik layar. Tak mau mengotori tangannya sendiri untuk kekotoran yang dibuatnya. Memakai tangan orang lain agar tak ketahuan kebusukannya. Disinilah dia berperan, sebagai penjilat, penghasut atau pemfitnah. Pembawa kayu bakar yang mengobar api dimana-mana. Saat orang-orang yang di-brainwash-nya mati-matian berseru dan berbuat atas hasutannya, dia dibelakang tertawa-tawa, mengagumi dirinya sendiri yang berhasil membuat orang lain berkorban, mengelus-elus perutnya yang sudah kekenyangan tanpa harus bersusah payah. Dialah loser sejati. Jika dekat dengan pimpinan, dia menjilat. Jika jauh dari pimpinan, dia menghasut. Herannya saya, orang seperti ini selalu dibekali Tuhan dengan ketrampilan komunikasi tingkat dewa. Pandai mengumbar dalil, pandai mengambil hati orang yang tak tahu apa-apa, dan selalu mendapatkan dukungan solid untuk melawan kebaikan.

Bertemu orang macam ini, saya bingung harus berbuat apa. Jika melawan, saya merasa menjadi ikut-ikutan bermulut besar seperti mereka. Jika diam, saya merasa tak bertanggungjawab membela kebaikan. Dalam hati saya selalu menyisipkan doa agar Tuhan memberi kekuatan pada yang benar agar dapat terus fokus membuat kebaikan, tidak oleng oleh hantaman badai. Tapi saya bertanya, disitukah tempat saya? Sebagai adh’aful iman? Selemah-lemahnya iman, hanya mengandalkan berdoa untuk mengubah keadaan? Tak mampu mengubah kemunkaran dengan tangan atau lisan, hanya dengan hati. Entahlah, saya tak punya ide lagi. 

0 comments:

Post a Comment