Tuesday 19 January 2016

Pupus

"Apa yang salah dengan siti nurbaya? Dia gadis berbakti yg rela mengabaikan hati demi orangtua. Pengorbanan macam itu, tentulah berbuah surga."

Kalimat itu tiba-tiba saja menggaung, memenuhi dada bidangnya yang berkecamuk rasa. Marah, kecewa, putus asa. Tapi, bukankah semua ini salahnya sendiri? Salahnyalah telah lancang menanam bibit harapan semu sejak sepuluh tahun silam. Dipupuk dan disiraminya, hingga batangnya menjulang. Dan hari ini dirasainya buah dari tanaman yang tak berakar
itu.

Gain menatap langit pucat di ufuk barat.  Tempat surya berpulang, arah beburung kembali setelah sehari penat mengais rizki. Ombak pantai utara berkecipak riang, berlomba mencapai pasir. Beberapa gagal karena tertahan karang.

Langit yang sama, pantai yang sama, pasir yang sama. Yang mewarnai harinya sejak ribuan hari lalu saat hatinya tak lagi lugu. Bahkan kepergian tak pernah membunuh asanya menanti. Bahkan hijrahnya tak sanggup membuat raut wajah yang selalu membayanginya itu pergi. Hingga tangisan selalu tertumpah dalam sujud, memohon sang Penentu kehidupan memaklumi harapan naifnya, agar mensucikan rasanya, saat kedua jiwa telah pantas bersama. Dia bahkan pasrah kapan.Dia yakin Allah Maha Tahu saat terbaik memberikan kejutan pada setiap hati yang tak lelah berharap.

Dan hari ini dikejutkanNyalah hatinya. Tapi bukan kejutan seperti pinta yang setia dirapalkannya.

'Tuhan, beginikah rasanya patah hati? Patah asaku, remuk rasaku' raungnya dalam diam. Mengasihani hatinya yang menangis deras.

Namun sebait sesal menyudutkannya. Menyalahkan segenggam dosa yang selalu diijinkannya mendiami jiwa yang berusaha tunduk pada keikhlasan. Mungkin dirinya belum pernah berhasil menghadirkan ikhlas. Dia teramat berani bermain-main dengan takdir.

Hari ini satu-satunya tutur kalimat yang tak pernah disepakatinya dari seorang yang tak pernah pergi dari mimpinya itu, menyembul dari palung yang dalam, dihantarkan oleh ombak, mencapai pasir yang menyangga selonjor badannya. Pecah pesan itu diujung kakinya, menyusup ke hati dan pikirannya yang buntu.

Inikah jawaban penantian panjang dari doa-doanya?

Perlahan pemuda itu melangkah. Gontai. Surya telah pergi, seperti harapannya yang pupus, terenggut di kota kecil yang pernah membesarkan dan mendewasakannya. Sebentar lagi bulan akan datang, merenggut singgasana yang seharian dikuasai mentari.

3 comments: