Tuesday 8 March 2016

Dewi: #1 part 3



“Kapan ayah datang?”

“baru saja. Maaf ayah harus sering keluar akhir-akhir ini” Gain, mengangguk asal, tak terlalu peduli”

“Apa yang terjadi anak muda? Haruskah kita ngobrol seperti father and son, atau layaknya 2 sahabat yang lama tak jumpa?”

Canggung.


Butuh beberapa menit sampai mereka larut bicara, mulai hal-hal tak penting hingga trending topic. Bagaimanapun, Ayah selalu teman bicara dan pendengar yang baik di mata Gain. Ucapannya selalu meluluhkan hati.

“What about home? Everithing’s fine? Aku menitipkan rrumah ini padaku selama pergi”
Akhirnya, sampai juga soal ini. Tapi Ayah jelas bohong jika tak tahu apa-apa. Semuanya pasti telah didengar dari mama.

Gain mencari kata….
“Aku ingin merantau, Ayah…”

Ayah kaget, terlihat dari ekspresinya. Tentu, mama belum tahu soal ini. Ini dorongan hatinya yang paling update.

Hening. Ayahpun mencari kalimat terbaik. Bersikap reaktif di hadapan anaknya adalah satu hal yang selalu dijauhinya.
“Kalau kau punya alasan yang benar-benar tepat dan bisa bertanggungjawab untuk itu, ayah akan ijinkan”

Gain mengumbar semua kesalnya, merasa ayah memberi peluang. Dia sudah bosan dipaksa. Dia ingin mandiri, berjuang, membuat pilihan, dan mengenal dirrinya sendiri. Dia ingin jauh dari rumah agar bisa merasakan kehidupan
“Terdengar hebat nak.”
“Tapi…” Mungkin karena Ayah pedagang, selalu mencari win-win solution. Tidak langsung melarang, namun ada kompensasi. “Kau harus bisa meyakinkan mamamu bahwa kau akan baik-baik saja.”

“Okay, why not?” dan dia selalu merasa tertantang.

“Kau tahu kan, kenapa mama selalu mengkhawatirkanmu?”

Aduh, isu itu lagi. Orangtuanya tak henti mengingatkan betapa penyakitannya dirinya setiap kali dia mengatakan ingin menikmati dunia di luar rumah.

‘But wait, aku takkan menyerah kali ini, Tidak akan lagi’, batinnya menguatkan.**

“Bagaimana ayah bisa seperti sekarang? Apa selama muda ayah dikurung di rumah? Segala kebutuhan dicukupi? Tinggal tekan bel langsung datang? Atau tinggal gosok lampu ajaib seperti Aladin?”

“Sudahlah nak, mama minta maaf soal kemarin. Jangan berfikir kemana-mana!” mama berusaha menenangkan.

“Ini bukan soal mama jodohkan aku sama anak presiden atau anak penjual sayur. Ini granat yang baru meledak setelah kupendam selama ini. Ma” Gain ngeyel

“Bagaimana kalau kamu sakit? Siapa yang akan menjagamu?” mulai deh. Tapi dia sudah menyiapkan jurusnya

“Aku bukan anak kecil lagi. .Aku bisa menjaga diri. Sejak kelas 9 aku tak pernah absen karena sakit. Aku sehat wal afiat. Di kelas 10 pun begitu, aku absen bukan karena sakit, tapi ikut lomba ini itu. Mama tidak boleh melarangku degan alasan sakit lagi. Bahkan ayah seperti sekarang karena banyak belajar di jalanan kan? Kenapa aku tak diijinkan?”

Mama tetap berat melepasnya pergi. Tapi ayah mulai terpengaruh. Ada keseriusan dalam kata-katanya. Alasannya pun masuk akal.

“Aku janji aku akan bertanggungjawab pada setiap yang kulakukan. Termasuk menjaga kesehatan.” Gain menguatkan.

“ Aku nggak akan telat makan. Aku juga akan nelpon mama… ehm… sebulan sekali”

“seminggu sekali!” potong mama

“ hm… dua minggu sekali, tolong dong ma. Percayalah padaku!”

Wajah sendu mama tak kunjung reda meski beberapa hari berlalu dari malam yang tak berpihak padanya itu. Gain masih punya beberapa hari sambil menanti urusan administrasi perpindahan sekolahnya beres. Dia ingin membuat mamanya melepas kepergiannya dengan tersenyum.  

Tapi mama malah jatuh sakit, sehari sebelum jadwal perjalanan panjangnya dimulai.
Gain bimbang, haruskah dia pergi sedang mamanya ringkih di atas pembaringan?


2 comments:

  1. Mbak hidayati, ini setting nya dimana sih? rada bingung. kalau dari dialognya sih barat banget. rada aneh sih ada kata merantau disini. lokal bgt

    ReplyDelete
  2. hehe.. masih chapter 1 sih mbak, tapi emang saya masih beginner, jadi maklum kalo bikin bingung.. hehe..
    thanks komentarnya mbak. akan saya edit lagi nanti

    ReplyDelete