Monday 14 March 2016

Vonis Kematian (1)



Kawan, apa yang akan kau rasakan, seandainya dokter menjatuhkan vonis kematian?

Dulunya aku mengira hal seperti ini hanya terjadi di sinetron televisi. Tapi hari itu, seorang dokter mengatakan hal tersebut khusus untukku, saat memeriksakan kondisi kehamilan yang berusia tepat 9 bulan. Kalo ingat lagi jadi tersedu... huhuhu..




Jadi ceritanya gini….

“ibu, dan bapak juga harus tahu, kelahiran ini beresiko. Kondisi ari-ari di bawah, besar kemungkinan menyebabkan perlengketan dan perdarahan.” Aku masih belum ON untuk mencerna ucapan bu dokter cantik itu, tapi dia sudah menambahi,

Resikonya bisa pengangkatan rahim, yang berujung pada perdarahan hebat. Dan hal  terburuknya,  bisa mengakibatkan kematian”

What??? Mati?? Siapa? Aku???

Hatiku jumpalitan mendengar vonis dokter yang pasiennya bejibun itu. Meski yang ngomong tampak selooww banget, setenang dan sewajar sedang mengabarkan berita tak penting seperti ‘saya sedang bernafas’.

“maaf, saya katakan ini sejujurnya” katanya lagi penuh percaya diri.

Oh dok, taukah anda??? kejujuran itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Huhuhuhu....Tangisan saya sudah seember, tapi cuma dalam hati. Sungkan lah, lagi di klinik dokter.

Sepanjang perjalanan pulang, hatiku bermonolog tak menentu.

‘Ya Rabb, jika memang ini akhir usiaku tolong jagalah anak dan keluargaku.

Tapi jika ini memang sudah kehendak Tuhan, kenapa aku harus menghawatirkn keluargaku? Tuhan pasti menjaganya karena Tuhan selalu memiliki rencana terbaik.

Jika yang dikatakan dokter itu benar,bukankah aku justru harus menghawatirkan diriku sendiri? Cukupkah amalan-amalanku untuk menghadapNya?’

batinku nelangsa

‘tapi meninggal saat melahirkan, bukankah itu mati syahid? Dan mati dalam kondisi syahid, bukankah itu cita-cita setiap muslim? Ya, akupun menginginkannya. Tapi... ya Tuhan, seandainya kau ijinkan aku merawat dan memberikan ASI pada anakku...’

pikiranku berkelana kemana-mana. Nelangsa, pasrah, menguatkan diri, campur aduk jadi satu.

“Kita ke bidan sekarang?” suara suami mengejutkan lamunan melow-ku. Perasaan yang tak menentu membuatku mengabaikannya sejak keluar dari klinik dokter kandungan tadi.

Setelah mengiyakan pertanyaannya, aku beranikan diri mendengar pendapatnya,

Sayang, bagaimana pendapatmu soal ucapan dokter tadi?” dag-dig-dug aku menanti jawabannya bahkan sebelum pertanyaan usai kulontar.

“Dokter itu cuma bisa prediksi, bukan menentukan nasib. Gak usah dipikir nemen-nemen ya..” Ooh.. surprise aku mendengarnya. Jauh dari perasaanku yang acakadul. Dia sangat tenang dan bijak.

Kupikir-pikir, betul kata suamiku. Cuma prediksi dokter saja, kenapa harus khawatir?
Soal mati bukankah semua orang akan mati?Lagipula semua perempuan melahirkan pasti punya resiko mengalami kematian. Dan matinya, tentu mati yang mulia.

Sejenak kalimatnya tadi menenangkanku.Dan sepertinya dia sengaja mengajak bicara tentang topik lain agar aku tak mengingat vonis yang menghantui tadi.

Sampai di klinik bidan, kami mengurus jaminan persalinan agar segera bisa memulai rawat inap, pemeriksaan ini itu hingga akhirnya siap menjalani persalinan dengan operasi caesar.

Berbekal hasil pemeriksaan dari dokter tadi, bidan langgananku yang ramah ini membuatkan surat rujukan dan menulis dengan detail kondisi kehamilanku.

Plasenta previa, Letsu.(Ari-ari di bawah, letak bayi sungsang)

“Ah nggak papa, mau letak sungsang atau tidak, kalau operasi Insyaallah nggak ada masalah. Bayinya mulus, kepalanya aman karena nggak perlu mengejan” komentarnya sambil menulis, dengan senyum tulus yang sangat riang. Bidanku ini terkenal suka memotivasi. Aku yang mendengar komentarnya berusaha menyunggingkan senyum terpaksa yang mungkin aneh untuk dilihat.
Sebelum keluar dari klinik beliau menambahkan lagi, “kalau sudah lahiran, kabari ya... Insya Allah saya sempatkan mampir menjenguk di rumah sakit” dan dengan senyum optimal di wajahnya, tangan beliau mengelus perutku dan berkata” sampai ketemu dedek bayi”

Di perjalanan dari klinik bidan, aku melamun lagi.
‘Satunya dokter kandungan, satunya bidan. Dua-duanya tahu seperti apa kondisiku.
Satunya memperingatkan tentang resiko kematian. Satunya memberikan optimisme dan imajinasi indah tentang kelahiran janin di perutku.

Paradigma.
Aku ingat, kesedihan, kekhawatiran, kegelisahan, semuanya hanya tentang apa yang kita pikirkan. Aku ulang-ulang ucapan suamiku dalam hati. Dokter cuma bisa memprediksi, tidak menentukan nasib.

Aku mengingatkan diriku pada sebuah hadis bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati. Berarti aku ini tidak cerdas ya?
Huhuhu… jadi introspeksi. Ada atau tidaknya vonis itu seharusnya manusia memang harus mengingat mati. Kenapa kita harus takut mengingat mati? Dan kenapa aku justru takut diingatkan pada kematian?
Sejujurnya, karena aku belum yakin amalanku ini cukup untuk melewati titian menuju Istana abadi. Huhuhu… mewek lagi.

Sampai di rumah, sambil menyiapkan segala keperluan rawat inap esok pagi, aku perbanyak istighfar, dzikir dan tilawah. Aku lakukan shalat taubat, sholat tasbih, sholat hajat. Aku panjatkan doa dalam tangisan yang berlinang-linang agar Allah mengampuni segala kesalahanku dan seluruh keluargaku, serta memberikan kepada kami sekeluarga umur yang panjang dan barokah. Aku memohon maaf dan doa dari ibu dan saudara-saudaraku. Aku habiskan sepanjang malam itu membaca Quran.

Jadi teringat sebuah ucapan, “bahkan jika waktu kita tinggal sedikit, kita harus tetap lakukan yang terbaik.” Ah mengingat kalimat itu membuat air mataku berderai lagi.
(tahan dulu ya sodara, masih ada lanjutannya)

13 comments:

  1. saya kira tadi cerita fiksi, ternyata bukan...
    (bacanya dari part 2, soalnya)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini edisi kisah paling berkesan, mas Aydi

      Delete
    2. Ini edisi kisah paling berkesan, mas Aydi

      Delete
  2. Kondisi ini saat lahiran anak keberapa mba Hiday...?

    ReplyDelete
  3. Subhanallah Ngeri kali mbak, Barakallah ya Mbak. semoga sehat selalu.

    ReplyDelete