Thursday 31 March 2016

Menulis: Berdiskusi dengan Hati



Nun.. wal qalami wamaa yasthurun
Nuun, demi pena dana apa yang dapat mereka tuliskan

Sejak kecil saya suka menuliskan kisah harian dalam buku haian. Hingga SMA, ada beberapa buku harian yang tersimpan, menjadi sebuah dokumen catatan pribadi. Suatu saat ketika membutuhkan, buku-buku itu akan menjadi lorong waktu untuk mengaca sekaligus bilik nasihat dari tulisan masa lalu.


Hingga suatu hari, segalanya berbeda, ketika ada yang menghadiahkan sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Buku itu, bukan buku biasa. Buku harian dari pemikir yang telah mati, bernama Ahmad Wahib. Buku harian yang teramat berharga, hingga setelah pemiliknya mati, coretan-coretannya tak direlakan masyarakat dan kawan dekatnya untuk mengikut pergi. Buku itu diterbitkan, diabadikan, sebagai potret pikiran-pikiran seorang Ahmad Wahib tentang Islam, politik, lingkungan sosial, serta pergerakan yang dia geluti. 

Di bangku kuliah saya bertemu buku serupa, dari tokoh berbeda. Catatan harian sang Demonstran oleh Soe Hok Gie. Baik Buku Wahib dan Gie, keduanya ditulis oleh 2 orang yang berbeda latar belakang, tempat tinggal, dan lingkungan social. Wahib di Jogja. Gie di Jakarta. Namun keduanya  memiliki kebiasaan sama, semangat yang sama, dan hidup di jaman yang sama. Catatan kegelisahan, perenungan, dan ide-ide tak biasa yang tak sembarang orang dapat menerima.

Catatan harian keduanya dibukukan ketika si penulis buku harian telah tiada. Karena kuatnya pikiran yang mereka tuangkan dalam tulisan pribadi, teman-teman almarhum tak rela jika pikiran keduanya tak terbagikan kepada khalayak. Betapa dahsyatnya efek dari tulisan,meski hanya berawal dari sebuah catatan harian, membuat mereka berdua tetap sanggup bersuara meski raganya tiada. 

Membaca 2 tulisan tersebut, saya jadi iri pada Gie dan Wahib. Sejak itu saya berupaya menuliskan sesuatu yang lebih manfaat di buku harian. Suatu saat ketika saya tak lagi hadir di dunia, saya akan masih memiliki warisan yang dapat menghadirkan diri saya. Bukan raga saya, tapi pikiran. 

Menulis bukanlah soal hobi dan interest. Menulis adalah meninggalkan warisan. Pada keluarga kecil yang ditinggalkan, itu pasti. Pada teman dan kerabat yang menyayangi, itu mungkin. Tapi tidak mustahil, menjadi warisan untuk bangsa dan seluruh alam. 

Hanya dengan menulis kita mampu berdiskusi dengan hati nurami. Menulis akan menyimpan geliat pikiran agar tak hangus menjadi debu. Menulis adalah berbagi. Menulis, siapa tahu  itu, akan menjadi ladang amal yang terus mengalir meski jasad telah tertelan bumi. 

*Ini essay yang saya tulis untuk bahan acara diskusi sastra SERAT RATRI di Pradya FM Tuban, 30 Maret 2016

0 comments:

Post a Comment